BAB I
PENDAHULUAN
A. Istilah dan Pengertian Kontrak
Leasing
Istilah
leasing berasal dari kata lease dalam bahasa inggris. Di dalam Pasal 1 ayat (1)
Surat Keputusan Bersama Menteri keuangan, Perindustrian, dan Perdagangan Nomor:
KEP-122/MK/IV/2/1974, Nomor: 32/M/SK/2/1974, dan Nomor: 30/KPB/1/1974 tentang
Perizinan Usaha Leasing telah ditentukan pengertian leasing. Leasing adalah
setiap kegiatan pembiayaan perusahaan dalam bentuk penyediaan barang-barang
modal yang digunakan oleh suatu perusahaan untuk jangka waktu tertentu, berdasarkan
pembayaran secara berkala, disertai hak pilih (opsi) bagi perusahaan tersebut
untuk membeli barang-barang modal yang bersangkutan atau memperpanjang jangka
waktu leasing berdasarkan nilai-nilai sisa yang disepakati.
Definisi
leasing dalam surat keputusan bersama tersebut difokuskan pada pengertian
leasing pada finance lease, artinya bahwa penyewa guna usaha pada masa akhir
kontrak diberikan hak opsi, yaitu untuk membeli objek atau memperpanjangnya.
Ada empat unsur yang terkandung dalam pengertian leasing berdasarkan definisi
yang tercantum dalam surat keputusan bersama tersebut, yaitu:
1. Penyediaan
barang modal,
2. Jangka
waktu tertentu,
3. Pembayaran
dilakukan secara berkala, dan
4. Adanya
hak opsi, yaitu hak memilih untuk membeli atau memperpanjang.
Hak
opsi merupakan hak dari lessee untuk membeli atau memperpanjang objek leasing.
Sedangkan ciri-ciri perjanjian leasing adalah sebagai berikut:
1. Adanya
hubungan tertentu antara jangka waktu perjanjian dengan unsur ekonomis barang
yang menjadi objek perjanjian.
2. Adanya
pemisahan kepentingan atas benda yang menjadi objek perjanjian. Hak milik
secara yuridis tetap berada pada pihak lessor (pihak yang menyewakan) dan hak
menikmati benda diserahkan kepada lessee (penyewa).
3. Adanya
kewajiban untuk memberikan penggantian atas kenikmatan yang diperoleh.
B. TUJUAN INSTITUSI LEASING
Pada
dasarnya tujuan utama dari institusi leasing adalah memperoleh hak untuk
memakai benda milik orang lain. Latar belakang tujuan ini adalah berdasarkan
berbagai pertimbangan ekonomis berkenaan dengan pilihan-pilihan yang harus
dilakukan oleh badan usaha. Apabila suatu perusahaan memerlukan alat-alat
produksi atau barang-barang modal, maka pertama kali badan usaha tersebut harus
menghadapi pilihan antara lain adalah:
1. Memperoleh
hak untuk memakai suatu benda tanpa sekaligus memperoleh hak milik atas benda
tersebut;
2. Memperoleh hak untuk memakai suatu benda
tersebut dengan sekaligus memperoleh hak milik atas benda tersebut.
Pilihan
ini harus dilakukan karena adanya resiko ekonomis yang terikat pada pemilikan
suatu benda. Yang dimaksud dengan resiko ekonomis adalah resiko yang berkenaan
dengan kemungkinan bertambah atau berkurangnya nilai suatu benda yang dimiliki.
Resiko ekonomis dipengaruhi oleh dua hal, yaitu:
1. akibat
pemilikan suatu benda di bidang perpajakan;
2. kemungkinan
timbulnya repercusie dalam struktur
pembiayaan.
C. RUMUSAN MASALAH
Dengan
melihat uraian diatas mengenai istilah, pengertian serta tujuan leasing, maka
dapat ditarik sebuah kesimpulan awal bahwa leasing merupakan sebuah cara atau metode
pembiayaan yang memiliki berbagai manfaat bagi pengusaha pada khususnya dan
masyarakat serta perseorangan pada umumnya. Salah satu manfaat leasing adalah
bahwa seseorang dapat memulai usaha tanpa harus memiliki dahulu berbagai
peralatan atau alat transportasi yang dibutuhkannya. Dengan demikian usaha
dapat berjalan, roda ekonomi bergerak, lantas memberikan untung yang dari waktu
ke waktu dapat membayar lunas objek barang yang tadinya menggunakan sistem
leasing, objek benda pun menjadi milik sendiri. Diharapkan dari sinilah muncul
berbagai pengusaha potensial yang mampu menjadi penggerak ekonomi, memberikan
dampak positif bagi kemajuan ekonomi, dan tentunya berdampak luas terhadap
kesejahteraan masyarakat.
Namun
sangat perlu juga untuk diketahui secara mendalam mengenai leasing. Kajian
secara akademis tentu sangat diperlukan sebagai pengetahuan untuk dapat
dipelajari. Dalam makalah ini penyusun berusaha memberikan tulisan yang
mendalam mengenai leasing dengan mengacu pada pengaturan mengenai leasing. Adapun
berbagai rumusan masalah adalah sebagai berikut:
1. apa
saja jenis-jenis leasing serta apa dasar hukum kontrak leasing?
2. siapakah
yang menjadi subjek maupun objek pada perjanjian kontrak leasing?
3. apa
sajakah hak dan kewajiban dari pihak penyewa maupun dari pihak yang menyewakan?
4. bagaimanakah
pola penyelesaian jika terjadi sengketa pada perjanjian leasing?
5. bagaimana
prosedur dan syarat-syarat pendirian perusahaan leasing?
6. apa
sajakah substansi yang tercantum dalam perjanjian leasing?
BAB II
PEMBAHASAN
A. JENIS-JENIS LEASING
Dalam
Pasal 2 Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor: 1169/KMK.01/1991 tentang Kegiatan
Sewa Guna (Leasing) ditentukan dua jenis leasing, yaitu:
a. finance
lease (sewa guna usaha dengan hak opsi)
b. operating
lease (sewa guna usaha dengan tanpa hak opsi)
Yang
diartikan dengan finance lease adalah kegiatan guna usaha, dimana penyewa guna
usaha pada akhir masa kontrak mempunyai hak untuk membeli objek sewa guna usaha
berdasarkan nilai sisa yang disepakati bersama (Pasal 1 Keputusan Menteri
Keuangan RI Nomor: 1251/KMK.013/1988 tentang Ketentuan dan Tata Cara
Pelaksanaan Lembaga Pembiayaan). Ada 3 (tiga) unsur yang tercantum dalam
definisi di atas, yaitu:
a. adanya
pihak lessor dan lessee;
b. adanya
hak opsi;
c. didasarkan
atas nilai sisa (residu)
Hak
opsi adalah hak yang diberikan kepada lessee untuk membeli objek leasing pada
akhir masa kontrak, yang didasarkan pada nilai sisa (residu). Ada tiga kriteria
sebuah kegiatan dapat digolongkan ke dalam finance lease, yaitu:
a. jumlah
pembayaran leasing selama masa sewa guna usaha pertama ditambah dengan nilai
sisa barang modal, harus dapat menutup harga perolehan barang modal dan
keuntungan lessor;
b. masa
sewa guna usaha ditetapkan sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun untuk barang modal
Golongan I, 3 (tiga) tahun untuk barang modal Golongan II dan III, dan 7
(tujuh) tahun untuk Golongan bangunan;
c. perjanjian
sewa guna usaha memuat ketentuan-ketentuan opsi bagi lessee (Pasal 3 Keputusan
Menteri Keuangan RI Nomor: 1169/KMK.01/1991 tentang Kegiatan Sewa Guna Usaha (Leasing).
Yang
dimaksud dengan operating lease adalah kegiatan sewa guna usaha, dimana penyewa
guna usaha tidak mempunyai hak opsi untuk membeli objek sewa (Pasal 1 e
Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor: 1251/KMK.013/1988 tentang Ketentuan dan
Tata Cara Pelaksanaan Lembaga Pembiayaan). Kegiatan leasing digolongkan sebagai
operating lease apabila memenuhi semua kriteria berikut ini.
a. Jumlah
pembayaran sewa guna usaha selama masa sewa guna usaha pertama tidak dapat
menutupi harga perolehan barang modal yang dileasingkan ditambah keuntungan
yang diperhitungkan oleh lessor.
b. Perjanjian
leasing tidak memuat ketentuan mengenai opsi bagi lessee (Pasal 4 Keputusan
Menteri Keuangan RI Nomor: 1169/KMK.01/1991 tentang Kegiatan Sewa Guna
(Leasing)).
Perbedaan
yang menonjol antara finance lease dengan operating lease adalah terletak pada
substansi kontrak ada atau tidak adanya hak opsi. Di dalam operating lease
tidak ada hak opsi, sedangkan finance lease dicantumkan hak opsi.
B. DASAR HUKUM KONTRAK LEASING
Lembaga
leasing tidak dikenal di dalam KUH Perdata, tetapi dikenal dalam praktik.
Menurut sejarahnya, leasing diperkenalkan pertama kali di Amerika Serikat pada
tahun 1877, oleh Bell Telephone Company untuk memasarkan hasil produksinya,
yaitu alat telepon. Karena pada saat itu perusahaan sulit untuk mendapatkan
kredit jangka menengah dan panjang. Pada tahun 1952 leasing mengalami
perkembangan yang pesat di Amerika Serikat, yaitu dengan didirikannya United
State Leasing Corporation. Sekitar tahun 1960 kegiatan leasing berkembang di
Eropa Barat.
Di
Indonesia kegiatan leasing diperkenalkan pertama kali pada tahun 1974, yaitu
dengan keluarnya Surat Keputusan Bersama Menteri Keuangan, Perindustrian, dan Perdagangan
Nomor: KEP-122/MK/IV/2/1974, Nomor: 32/M/SK/2/1974 dan Nomor: 30/KPB/I/1974
tentang Perizinan Usaha Leasing. Di samping ketentuan itu, lembaga leasing juga
diatur di dalam:
1. Keppres
Nomor 61 Tahun 1988 tentang Lembaga Pembiayaan.
2. Keputusan
Menteri Keuangan RI Nomor: 1251/KMK.013/1988 tentang Ketentuan dan Tata Cara
Pelaksanaan Lembaga Pembiayaan.
3. Keputusan
Menteri Keuangan RI Nomor: 634/KMK.013/1990 tentang Pengadaan Barang Modal
Berfasilitas Melalui Perusahaan Sewa Guna Usaha (Perusahaan Leasing).
4. Keputusan
Menteri Keuangan RI Nomor: 1169/KMK.01/1991 tentang Ketentuan Kegiatan Sewa
Guna Usaha (Leasing).
Keputusan-keputusan
itulah yang menjadi dasar hukum berlakunya leasing di Indonesia. Tentunya pada
masa mendatang perlu dipikirkan pembentukan peraturan perundang-undangan yang
khusus mengatur tentang leasing. Agar dengan adanya undang-undang tersebut
diharapkan lebih menjamin kepastian hukum para pihak dalam melakukan kontrak
berdasarkan prinsip leasing.
C. PROSEDUR DAN SYARAT-SYARAT
PENDIRIAN PERUSAHAAN LEASING
Prosedur
dan syarat-syarat pendirian perusahaan leasing diatur dalam Surat Keputusan
Bersama Menteri Keuangan, Menteri Perindustrian, dan Menteri Perdagangan Nomor:
KEP-122/MK/IV/2/1974, Nomor: 32/M/SK/2/1974, dan Nomor: 30/KPB/I/1974 tentang
Perizinan Usaha Leasing dan Surat Keputusan Menteri Keuangan Nomor: KEP-649/MK/IV/5/1974
tentang Perizinan Usaha Leasing. Kegiatan leasing dapat dilakukan oleh:
1. Lembaga
keuangan;
2. Badan
usaha tersendiri, baik berbentuk perusahaan nasional maupun perusahaan campuran.
Prosedur
yang ditempuh atau dilalui oleh perusahaan yang ingin mendapatkan izin kegiatan
leasing adalah perusahaan harus mengajukan permohonan izin usaha kepada Menteri
Keuangan dengan mempergunakan formulir yang telah tersedia pada Direktorat
Jenderal Moneter, Direktorat Lembaga-Lembaga Keuangan, dalam rangkap 3 (tiga).
Permohonan itu juga harus ditembuskan:
1. Bagi
lembaga keuangan, maka tembusan permohonan tersebut disampaikan kepada Direksi
Bank Indonesia.
2. Bukan
lembaga keuangan, maka tembusan permohonan disampaikan pula kepada Departemen
Perdagangan, Direktorat Lembaga-Lembaga Perdagangan dan/atau Departemen
Perindustrian menurut bidangnya masing-masing.
Permohonan
tersebut harus dilampirkan:
1. Anggaran
dasar atau rancangan anggaran dasar dalam hal perusahaan baru;
2. Laporan
keuangan perusahaan sedapat mungkin 3 tahun buku terakhir, kecuali bagi
perusahaan baru;
3. Menyampaikan
feasibility study dan rencana pembiayaan usaha untuk sedikitnya 3 tahun
mendatang.
Di
dalam Pasal 4 dan Pasal 5 Surat Keputusan Menteri Keuangan Nomor:
KEP-649/MK/IV/5/1974 tentang Perizinan Usaha Leasing telah ditentukan
syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh badan usaha untuk memperoleh izin usaha
leasing. Di dalam Pasal 4 Surat Keputusan Menteri Keuangan Nomor:
KEP-649/MK/IV/5/1974 dibedakan persyaratan untuk memperoleh izin untuk
perusahaan nasional, perusahaan campuran, dan agen tunggal (sole agency).
Persyaratan
bagi perusahaan nasional:
1. Berbentuk
perusahaan terbatas dan pendiriannya berdasarkan hukum Indonesia.
2. Seluruh
modal saham dimiliki oleh warga negara Indonesia.
3. Dalam
tahap pertama modal yang disetor sedikitnya sebesar Rp 50.000.000 (lima puluh
juta rupiah)
Persyaratan
bagi perusahaan campuran:
1. Berbentuk
perusahaan terbatas dan pendiriannya berdasarkan hukum Indonesia.
2. Dalam
tahap pertama modal yang disetor sedikitnya sebesar Rp 150.000.000 (seratus
lima puluh juta rupiah)
3. Dalam
waktu 10 tahun, mayoritas pemilikan saham harus berada di tangan warga negara
Indonesia.
Persyaratan
bagi agen tunggal (sole agency):
1. Perusahaan
nasional dan pendiriannya berdasarkan hukum Indonesia.
2. Untuk
usahanya sebagai agen tunggal telah mempunyai izin dari Departemen Perdagangan
dan/atau Departemen Perindustrian.
3. Usaha
leasing yang akan dijalankan hanya untuk barang-barang modal sehingga ia
menjadi agen tunggalnya di Indonesia.
4. Mempunyai
persetujuan dengan pabrik yang akan diwakilinya untuk kegiatan leasing yang
akan dilakukan.
5. Memenuhi
persyaratan-persyaratan lain yang ditetapkan.
Disamping
persyaratan-persyaratan di atas, badan usaha atau lembaga keuangan yang ingin
memperoleh izin usaha leasing harus memenuhi persyaratan, sebagaimana yang
diatur dalam Pasal 5 Keputusan Menteri Keuangan Nomor: KEP-649/MK/IV/5/1974.
Persyaratan itu adalah sebagai berikut:
1. Telah
mempunyai rekomendasi/pertimbangan dari Bank Indonesia atau untuk badan-badan
yang bukan lembaga keuangan diperlukan adanya rekomendasi/pertimbangan dari
Departemen Perdagangan.
2. Menyampaikan
feasibility study dan rencana pembiayaan untuk sedikitnya 3 (tiga) tahun mendatang.
3. Tidak
akan mempekerjakan tenaga warga negara asing, kecuali atas persetujuan Menteri
Keuangan.
4. Dalam
organisasi perusahaan akan dipekerjakan sedikitnya seorang tenaga ahli di
bidang hukum, seorang akuntan, dan seorang tenaga ahli di bidang di mana usaha
leasing itu akan dititikberatkan.
5. Dalam
hal diperlukan adanya asuransi, maka penutupannya harus dilakukan pada
perusahaan-perusahaan asuransi yang ada di Indonesia.
6. Barang-barang
yang di lease harus diambil dari produksi dalam negeri, kecuali apabila produksi
dalam negeri belum memungkinkan. Pengecualian ini hanya dapat dilakukan dengan
persetujuan Menteri Keuangan.
7. Mempunyai
ruang kantor yang tetap dan beralamat jelas, sedangkan setiap pembukaan kantor
cabang harus dengan persetujuan Menteri Keuangan.
8. Harus
mempunyai tata usaha/pembukuan tersendiri.
9. Badan-badan
usaha yang pada waktu ini telah menjalankan kegiatan leasing, diwajibkan
menyesuaikan dengan persyaratan-persyaratan yang telah ditentukan dalam Surat
Keputusan Menteri Keuangan Nomor: KEP-649/MK/IV/5/1974.
Apabila
prosedur dan persyaratan tersebut telah dipenuhi oleh pemohon, maka Menteri
Keuangan setelah mendengar pertimbangan dari Direksi Bank Indonesia dan/atau
Departemen Perindustrian menetapkan izin usaha leasing.
Dalam
Pasal 6 Surat Keputusan Menteri Keuangan Nomor: KEP-649/MK/IV/5/1974 mengatur
berbagai larangan bagi perusahaan leasing. Larangan-larangan itu meliputi:
1. Menerima
simpanan dalam bentuk giro, deposito, tabungan maupun memberikan
kredit/pinjaman uang serta mengeluarkan jaminan bagi pihak ketiga atau
usaha-usaha perbankan lainnya.
2. Perusahaan
leasing yang tidak berkedudukan di Indonesia dilarang melakukan kegiatan
leasing di Indonesia.
D. SUBJEK DAN OBJEK KONTRAK LEASING
Pada
prinsipnya ada dua pihak yang terkait dalam perjanjian leasing, yaitu pihak
lessor dan pihak lesse, namun tidak menutup kemungkinan terkait pihak lainnya.
Lessor adalah perusahaan pembiayaan atau perusahaan sewa guna usaha yang telah
memperoleh izin usaha dari Menteri Keuangan dan melakukan kegiatan sewa guna
usaha. Lessee adalah perusahaan atau perorangan yang menggunakan barang modal
dengan pembiayaan dari lessor. Di samping kedua pihak tersebut, yang dapat
menjadi pendukung dalam kegiatan kontrak leasing adalah pihak supplier dan
kreditur atau lender. Supplier adalah penjual dan pemilik barang yang
disewakan. Kreditur adalah orang atau lembaga yang mendukung kegiatan
pembiayaan di bidang leasing, seperti lembaga perbankan dan lembaga nonbank
lainnya.
Objek
leasing adalah barang-barang modal/alat-alat produksi yang harganya sangat
mahal. Objek itu adalah terdiri atas:
1. Mobil,
2. Pesawat
terbang,
3. Motor,
4. Bus,
5. Peralatan
pengeboran,
6. Peralatan
listrik,
7. Forklift
dan truk,
8. Pembangkit
tenaga listrik,
9. Peralatan
telepon,
10. Perkakas
tenun/tekstil,
11. Peralatan
bengkel,
12. Peralatan
kantor,
13. Komputer,
14. Mesin-mesin
percetakan,
15. Mesin-mesin
untuk pertambangan,
16. Peralatan
rumah sakit,
17. Peralatan
untuk industri baja, dan
18. Peralatan
untuk industri perkayuan.
Apabila barang yang
menjadi objek leasing musnah/rusak bukan disebabkan oleh salah satu pihak, maka
yang bertanggung jawab adalah pihak lessor.
E. BENTUK DAN ISI KONTRAK LEASING
Di
dalam Pasal 9 Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 1169/KMK.01/1991 tentang
Kegiatan Guna Usaha (Leasing) ditentukan bahwa setiap transaksi sewa guna usaha
wajib diikat dalam suatu perjanjian sewa guna usaha atau lease agreement. Ini
berarti bahwa perjanjian yang dibuat
antara lessor dengan lessee dibuat dalam bentuk tertulis, baik itu dituangkan
dalam bentuk akta di bawah tangan maupun akta autentik. Akta di bawah tangan
adalah sebuah akta yang dibuat oleh para pihak, sedangkan akta autentik adalah
akta yang dibuat oleh pejabat yang berwenang untuk itu. Pejabat yang berwenang untuk
membuat akta leasing adalah Notaris.
Substansi
yang tercantum dalam lease agreement, meliputi:
1. Jenis
transaksi sewa guna usaha.
2. Nama
dan alamat masing-masing pihak.
3. Nama,
jenis, type, dan lokasi penggunaan barang modal.
4. Harga
perolehan, nilai pembiayaan, pembayaran sewa guna usaha, angsuran pokok
pembiayaan, imbalan jasa sewa guna usaha, nilai sisa, simpanan jaminan, dan
ketentuan angsuran atas barang modal yang disewa guna usahakan.
5. Masa
sewa guna usaha.
6. Ketentuan
mengenai pengakhiran transaksi sewa guna usaha yang dipercepat, dan penetapan
kerugian yang harus ditanggung lessee dalam hal barang modal yang disewa guna
usaha dengan hak opsi hilang, rusak, atau tidak berfungsi karena sebab apa pun.
7. Opsi
bagi penyewa guna usaha dalam hal transaksi sewa guna usaha dengan hak opsi.
8. Tanggung
jawab para pihak atas barang modal yang disewa guna usaha.
Dalam
praktiknya tidak hanya memuat hal-hal sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 9
Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 1169/KMK.01/1991 tentang Kegiatan Guna Usaha
(Leasing), tetapi juga memuat hal-hal seperti wanprestasi, asuransi, bunga
tunggakan utang, dan lain-lain.
F. HAK DAN KEWAJIBAN ANTARA LESSOR DAN
LESSEE
Berdasarkan
analisis terhadap substansi kontrak yang dibuat antara lessor, yaitu pihak yang
menyewakan (lessor) dengan pihak penyewa (lessee), ditemukan beberapa hak dan
kewajiban dari kedua belah pihak. Kewajiban lessor yaitu menyerahkan barang
modal yang menjadi objek leasing.
Sedangkan
hak lessor adalah:
1. Menerima
sewa dari lessee.
2. Melakukan
penyesuaian jumlah angsuran pokok pembiayaan.
3. Mengakhiri
atau membatalkan kontrak leasing secara sepihak.
4. Menetapkan
jaminan atau biaya leasing di muka.
5. Dapat
memindahkan barang leasing tanpa adanya izin lessee.
6. Berhak
atas ganti rugi asuransi.
7. Berhak
menahan semua barang leasing, jaminan tambahan, dan bukti surat berharga
lainnya.
Adapun
hak lessee adalah:
1. Menerima
barang leasing.
2. Mempunyai
hak opsi, yaitu hak untuk membeli atau memperpanjang objek leasing.
3. Memakai
barang leasing sesuai dengan kontrak yang dibuat antara lessor dan lessee.
Kewajiban
lessee adalah:
1. Membayar
sewa barang leasing.
2. Membayar
pajak.
3. Melunasi
seluruh biaya sewa, apabila lessee membeli barang leasing.
4. Menanggung
biaya dan ongkos yang dikeluarkan oleh lessor karena dirugikan, dilanggar, atau
diancam oleh lessee.
5. Tidak
diperkenankan untuk melakukan perubahan dan penukaran fungsi barang leasing.
6. Patuh
dan taat melaksanakan petunjuk pabrik barang leasing tentang tata cara
pemakaian dan pemeliharaan barang leasing.
7. Memelihara
dan memperbaiki barang leasing serta mengganti semua biaya bagian yang hilang
atau rusak dengan suku cadang yang baru.
8. Menanggung
biaya asuransi.
9. Menanggung
biaya pengadilan dan biaya pengacara.
10. Biaya
penagihan.
11. Biaya
materai.
G. POLA PENYELESAIAN SENGKETA
Penyelesaian
sengketa dalam kontrak leasing dapat ditempuh dengan dua cara, yaitu melalui
pengadilan dan diluar pengadilan. Namun, di dalam substansi kontrak-kontrak
yang distandardisasi oleh lessor, maka tempat penyelesaian sengketa yang timbul
antara lessor dan lessee adalah di Pengadilan Negeri Pusat.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari
apa yang telah di uraikan di atas mengenai kontrak leasing, maka penyusun
memiliki beberapa kesimpulan, yaitu:
1. Dalam
hal leasing ini jika dilaksanakan dengan baik, sesuai dengan mekanisme yang
berlaku maka sistem leasing memberikan peluang menarik bagi pengusaha, karena
memiliki keunggulan, antara lain yaitu:
a. Proses
pengadaan peralatan modal relatif lebih cepat dan tidak memerlukan jaminan
kebendaan.
b. Untuk
pengadaan kebutuhan modal dan alat-alat berat yang mahal dapat terpenuhi
mengingat cara pembayaran dilakukan dengan sistem angsuran dengan jangka waktu
yang cukup panjang, tentu hal ini menguntungkan bagi pengusaha yang baru
menjalankan usahanya.
c. Adanya
hak opsi yang diberikan kepada lessee untuk membeli objek leasing pada akhir
masa kontrak atau memperpanjang objek leasing. Jadi dengan adanya dua pilihan
yang sama-sama menguntungkan ini, pengusaha dapat menentukan pilihannya sesuai
dengan kemampuan serta kebutuhannya.
2. Setiap
transaksi sewa guna usaha (leasing) wajib diikat dalam suatu perjanjian sewa
guna usaha atau lease agreement secara tertulis.
3. Tampaklah
bahwa kewajiban yang utama dibebankan pada lessee. Ini disebabkan pihak lessee
berada pada posisi yang lemah, karena mereka tidak mempunyai banyak modal untuk
membeli barang-barang modal tersebut. Maka dengan sangat mudah pihak lessor
membuatkan syarat-syarat standar dalam kontrak leasing. Kepada pihak lessee
diminta untuk menyetujuinya atau tidak. Apabila disetujui, maka pihak lessee
menandatangani kontrak tersebut.
4. Jika
timbul sengketa kontrak leasing dikemudian hari, maka tempat penyelesaian
adalah di Pengadilan Negeri Pusat. Apabila objek leasingnya ada di Jakarta,
maka hal tersebut tidak menjadi masalah. Akan tetapi, apabila sengketa itu
terjadi di daerah, seperti Provinsi/Kabupaten/Kota, maka akan menimbulkan
persoalan. Hal ini karena memerlukan biaya yang besar dan waktu lama untuk
berperkara. Maksud penentuan tempat penyelesaian sengketa di Pengadilan Negeri Pusat adalah untuk
mempersulit pihak lessee menuntut lessor, apabila lessor melakukan tindakan
secara sepihak.
B. SARAN
Tentunya
pada masa mendatang perlu dipikirkan pembentukan peraturan perundang-undangan
yang khusus mengatur tentang leasing. Jadi, dengan adanya undang-undang
tersebut akan menjamin kepastian hukum para pihak dalam melakukan kontrak
berdasarkan prinsip leasing
DAFTAR PUSTAKA
Salim, H.S.,S.H.,M.S.
2003. Perkembangan Hukum Kontrak
Innominaat Di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.
Keputusan Menteri
Keuangan RI Nomor 1251/KMK.013/1988 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan
Lembaga Pembiayaan.
Keppres Nomor 61 Tahun
1988 tentang Lembaga Pembiayaan.
Keputusan Menteri
Keuangan RI Nomor 634/KMK.013/1990 tentang Pengadaan Barang Modal Berfasilitas
Melalui Perusahaan Sewa Guna Usaha (Perusahaan Leasing).
Keputusan Menteri
Keuangan RI Nomor 1169/KMK.01/1991 tentang Ketentuan Kegiatan Sewa Guna Usaha
(Leasing).
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN
JUDUL ................................................................................................... i
DAFTAR
ISI ............................................................................................................... ii
BAB
I PENDAHULUAN
.................................................................................. 1
A. Istilah
dan Pengertian Kontrak Leasing............................................ 1
B. Tujuan
Institusi Leasing .................................................................... 2
C. Rumusan
Masalah ............................................................................. 3
BAB
II PEMBAHASAN
..................................................................................... 4
A. Jenis-Jenis Leasing ........................................................................... 4
B. Dasar Hukum Kontrak Leasing........................................................ 9
C. Prosedur dan Syarat-Syarat Pendirian
Perusahaan Leasing............ 10
D. Subjek
dan Objek Kontrak Leasing................................................ 12
E. Bentuk
dan Isi Kontrak Leasing.................................................
F.
Hak dan Kewajiban Antara Lessor dan
Lessee..........................
G. Pola
Penyelesaian Sengketa.......................................................
BAB III PENUTUP.............................................................................................. 14
A.
Kesimpulan .................................................................................. 14
B.
Saran ............................................................................................ 14
DAFTAR
PUSTAKA ............................................................................................... 15