BAGIAN I
ARTI KATA
Istilah” perbuatan
melanggar hukum” pada umumnya adalah sangat luas artinya yaitu kalau perkataan
“hukum” dipakai dalam arti yang seluas-luasnya dan hal pebuatan hukum dipandang
dari segala sudut. Kini hal perbuatan melanggar hukum akan dikupas sekedar ada
akibat dan penyelesaian yang diatur dengan Hukum Perdata dalam arti yang luas,
yaitu yang meliputi juga Hukum Dagang. Ini perlu dikemukakan disini, oleh
karena Pasal 102 Undang-undang Dasar Sementara memperbedakan Hukum Perdata dari
Hukum Dagang.
Yang tidak dikupas
adalah akibat dan penyelesaian dari perbuatan melanggar hukum, yang diatur
dengan Hukum Pidana dan Hukum Tata Negara, termasuk Hukum Tata Usaha
pemerintahan. Adapun “hukum” yang dilanggar, kini dipakai dalam arti yang seluas-luasnya,
yaitu tidak hanya terbatas pada Hukum Perdata, melainkan juga meliputi Hukum
Pidana dan Hukum Tata Negara.
Juga perlu semula
dikemukakan disini, bahwa hal perbuatan melanggar hukum kini, lain daripada
menurut sistem Burgerlijk Wetboek, tidak dimasukan dalam golongan Hukum
Perjanjian (Verbintenissenrecht).
BAGIAN II
SIFAT PERBUATAN MELANGGAR HUKUM
Hukum
adalah rangkaian peraturan-peraturan mengenai tingkah laku orang-orang sebagai
anggota suatu masyarakat, sedang satu-satunya tujuan dari hukum ialah
mengadakan keselamatan, bahagia, dan tata tertib dalam masyarakat itu. Masing-masing
anggota masyarakat tentunya mempunyai pelbagai kepentingan yang beraneka warna.
Ujud dan jumlah kepentingan ini tergantung dari ujud dan sifat kemanusiaan yang
berada di dalam tubuh para anggota masyarakat masing-masing. Hawa nafsu
masing-masing menimbulkan keinginan untuk beberapa boleh mendapat kepuasan
dalam hidupnya sehari-hari, yaitu supaya segala kepentingan terpelihara
sebaik-baiknya.
Kalau
keinginan ini sudah sedemikian matang sehingga menimbulkan pelbagai usaha untuk
melaksanakannya, maka disitulah mulai ada bentrokan antara pelbagai kepentingan
para anggota masyarakat, yang kemudian diikuti pula oleh bentrokan antara
orang-orangnya para anggota masyarakat itu. Akibat dari bentrokan ini adalah
masyarakat goncang. Sedang kegoncangan inilah yang seberapa boleh harus
dihindarkan. Dan penghindaran kegoncangan inilah yang sebetulnya masuk tujuan
hukum, maka hukum menciptakan pelbagai hubungan-hubungan tertentu dalam
masyarakat. Hubungan-hubungan ini bermacam-macam ujudnya.
Ada
yang memperlihatkan pergaulan hidup antara orang-orang perseorangan, atau antar
pelbagai gerombolan orang-orang, atau antar suatu gerombolan orang-orang dan
seorang perseorangan, atau antar masyarakat seluruhnya di satu pihak dan
orang-orang perseorangan atau gerombolan orang-orang di lain pihak. Juga ada
hubungan-hubungan antar orang dan barang-barang tertentu. Barang-barang ini
tidak hanya penting bagi orang-orang tertentu, melainkan penting juga bagi
masyarakat. Sesuai dengan ini, maka Undang-Undang Dasar Sementara pun
menentukan dalam Pasal 26 ayat 3, bahwa Hak milik adalah suatu functie sosial.
Dalam
mengatur segala hubungan-hubungan ini, hukum bertujuan mengadakan suatu
imbangan diantara pelbagai kepentingan. Dan imbangan ini tidak terutama
terletak dalam dunia kelahiran, melainkan sebagian besar terletak pada dunia
kerokhanian pada masyarakat. Janganlah sampai suatu kepentingan terlantar
disamping suatu kepentingan lain yang terlaksana tujuan seluruhnya. Hanya kalau
masyarakat mewujudkan neraca yang lurus, dapat dikatakan, bahwa ada keselamatan
dalam masyarakat yang bermanfaat. Dan kelurusan neraca ini hanya dapat
tercapai, kalau hukum yang mengaturnya itu dilaksanakan dihormati, tidak dilanggar.
Tetapi
orang manusia tetap memiliki kesalahan dan kekhilafan dalam tingkah lakunya,
maka perlu adanya peraturan hukum untuk mengatur tingkah laku manusia ini. Maka
juga sudah selayaknya apabila dalam pergaulan hidup masyarakat sehari-hari
selalu ada anggota masyarakat yang bertindak tidak sesuai dengan
peraturan-peraturan hukum. Kalau diingat, bahwa salah satu sudut dari tujuan
peraturan hukum ialah, untuk mengadakan imbangan dalam hidup lahir batin
daripada masyarakat serupa dengan suatu neraca yang lurus, maka suatu
pelanggaran hukumtidak boleh tidak tentu akan mengakibatkan kegoncangan neraca
itu.
Dan
kegoncangan ini tentu mengakibatkan suatu keganjilan, yang terlihat dalam hidup
kelahiran dan terasa dalam hidup kerokhanian dalam masyarakat. Inilah semua
akibat dari suatu perbuatan melanggar hukum, dilihat dari sudut kemasyarakatan.
Tentunya ada keadaan bertingkat-tingkat, yaitu dari keadaan yang amat jelek
sampai keadaan yang hanya sedikit berbeda dari keadaan biasa, keadaan normal.
Ini tergantung dari nilai sifat jahat atau kurang jahat, yang terkandung dalam
perbuatan tertentu yang melanggar hukum itu. Supaya tidak salah paham, perlu
kini dikemukakan semula bahwa kekotoran tubuh masyarakat juga dapat disebabkan
oleh hidup kebatinan, hidup kerokhanian dari tiap-tiap anggota masyarakat.
Tetapi ini adalah lapangan lain daripada lapangan hukum.
BAGIAN III
PENGERTIAN PERBUATAN MELANGGAR
HUKUM
Dalam buku-buku yang
mempelopori pengupasan hal Hukum Adat, dipakai kata “delict” untuk menyebutkan
suatu perbuatan yang pada umumnya tidak diperbolehkan dalam masyarakat, dan
bagian Hukum Adat yang mengenai “delict” ini dinamakan “ delictenrecht”. Istilah
“perbuatan melanggar hukum” adalah agak sempit, bahwa yang dimaksudkan dengan
istilah ini tidak hanya perbuatan yang melanggar hukum, melainkan juga
perbuatan yang secara langsung melanggar peraturan lain dari pada hukum, akan
tetapi dapat dikatakan secara tidak langsung toh melanggar hukum. Yang dimaksud
dengan peraturan lain ini ialah peraturan di lapangan kesusilaan, keagamaan,
dan sopan santun.
Sifat yang dimaksudkan
dengan istilah “perbuatan melanggar hukum” ialah bahwa perbuatan itu
mengakibatkan kegoncangan dalam neraca kesimbangan dari masyarakat. Kegoncangan
ini tidak hanya terdapat jika peraturan-peraturan hukum dalam suatu masyarakat
dilanggar, melainkan juga apabila peraturan-peraturan kesusilaan, keagamaan,
dan sopan santun dalam masyarakat dilanggar.
Bagi Indonesia hal ini tidak
begitu sulit, oleh karena dalam Hukum Adat ada suatu persamaan corak diantara
peraturan-peraturan hukum di satu pihak dan peraturan-peraturan kesusilaan,
keagamaan, dan sopan santun di lain pihak, yaitu semua peraturan-peraturan itu
tidak termuat dalam suatu undang-undang, sehingga para penguasa, terutama para
Hakim tidak begitu terikat pada kata-kata, yang ada di undang-undang. Dengan
ini para Penguasa itu ada lebih berkesempatan untuk benar-benar memperhatikan
rasa keadilan, yang pada tiap waktu berada dalam dada para anggota masyarakat
tentang suatu hal yang tertentu.
BAGIAN IV
AKIBAT PERBUATAN MELANGGAR HUKUM
Diatas sudah disebutkan
akibat umum dari suatu perbuatan melanggar hukum, yaitu kekotoran dalam tubuh
masyarakat, kegoncangan dalam neraca keseimbangan dari masyarakat, atau dengan
pendek dapat dinamakan suatu keganjilan. Keganjilan ini dapat mengenai pelbagai
perhubungan hukum dalam masyarakat. Perhubungan hukum yang akan menemui
keganjilan ini, dapat mengenai pelbagai kepentingan seorang manusia, seperti
kekayaan harta benda, tubuh, jiwa, dan kehormatan seorang manusia.
Kepentingan-kepentingan ini semua dapat diperkosa oleh suatu perbuatan
melanggar hukum. Segala macam perkosaan kepentingan ini tentunya secara
langsung dirasakan pahitnya oleh orang-orang perseorangan yang bersangkutan.
Merekalah yang pertama-tama akan mengeluh kesah dan memandang suatu perbuatan
melanggar hukum sebagai hal yang tidak baik. Maka dapat dimengerti, bahwa tiap
perbuatan melanggar hukum mempunyai akibat, yang masuk kepentingan masyarakat
seluruhnya. Dengan kata lain, bahwa suatu kepentingan dari seorang perseorangan
baru mendapat perlindungan dari hukum berupa adanya suatu peraturan hukum yang
melarang atau menyuruh hal sesuatu, apabila juga kepentingan masyarakat
menuntut, supaya kepentingan orang perseorangan itu dilindungi.
Sebaliknya dalam teori
ada kalanya suatu peraturan hukum hanya melulu melindungi suatu kepentingan
masyarakat saja, tidak juga melindungi kepentingan orang-orang perseorangan.
Tetapi hal seperti ini sekiranya jarang sekali terjadi, dan sebetulnya saja
tidak kenal suatu contoh dari peristiwa semacam ini. Biasanya suatu peraturan
yang diadakan untuk kepentingan umum tentu juga dimaksudkan untuk melindungi
orang-orang perseorangan.
BAGIAN V
HAL KESALAHAN PEMBUAT PERBUATAN
MELANGGAR HUKUM
Kalau dari suatu
perbuatan melanggar hukum sudah ditetapkan adanya suatu perhubungan sebab
akibat antara perbuatannya di satu pihak dan suatu perkosaan kepentingan di
lain pihak, maka masih timbul pertanyaan, apakah akibat yang tidak menyenangkan
itu, dapat dipertanggungjawabkan pada seorang pembuat pelanggaran hukum itu.
Kini kita sampai pada unsur kesalahan (shuldelement) dari seorang subject, yang
langsung berhubungan dengan dunia kerokhanian dari subject itu. Karena ini
mengenai kerokhanian dari subject, maka sebetulnya sangat sulit untuk
mengetahui dengan jelas bentuk yang sebenarnya dari kesalahan seorang subject.
Soal kesalahan ini terletak pada suatu perhubungan kerokhanian antara alam
pikiran dan perasaan si subject dan suatu perkosaan kepentingan tertentu.
Kalau seorang subject
pada waktu melakukan perbuatan melanggar hukum itu tahu betul, bahwa
perbuatannya akan berakibat suatu perkosaan kepentingan tertentu itu, maka
dapat dikatakan, bahwa pada umumnya seorang subject itu dapat
dipertanggungjawabkan. Syarat untuk dapat dikatakan, bahwa seorang tahu akan
adanya akibat itu, ialah bahwa seorang itu tahu hal adanya keadaan-keadaan
sekitar perbuatannya yang tertentu itu, yaitu keadaan-keadaan yang menyebabkan
kemungkinan akibat itu akan terjadi. Perlu dikemukakan disini, bahwa pasal 1365
BW tidak memperbedakan hal kesengajaan dari hal kurang berhati-hati melainkan
hanya mengatakan, bahwa harus ada kesalahan (shuld) di pihak pembuat perbuatan
melanggar hukum, agar si pembuat itu dapat diwajibkan membayar ganti kerugian.
Maka dalam Hukum Perdata menurut BW tidak perlu sangat dihiraukan, apa ada
kesengajaan atau kurang berhati-hati. Bahwa ada dua pengertian yang dapat dan
harus dipisahkan, yaitu hal perbuatan melanggar hukum dan hal kesalahan dari
subject perbuatan itu.
BAGIAN VI
UJUD PENGGANTIAN KERUGIAN
Diatas telah diuraikan,
bahwa tiap-tiap perbuatan melanggar hukum mengakibatkan suatu keganjilan dalam
masyarakat berupa ketiadaan lagi suatu perseimbangan dalam tubuh masyarakat
(evenwichtsverstoring). Kegoncangan dalam neraca perimbangan ini dengan
sendirinya menimbulkan keinginan dan rasa keharusan, supaya kegoncangan itu
diperbaiki, artinya supaya neraca perimbangan dalam masyarakat dijadikan lurus
lagi.
Kelurusan kembali
paling mudah dapat tercapai, apabila suatu perbuatan melanggar hukum berupa
mendirikan hal sesuatu, yang mudah dapat dilenyapkan. Misalnya, ada larangan
untuk menanam pohon di sebidang lapangan, dan ada orang yang melanggar larangan
itu secara menanam pohon yang masih kecil. Maka cara memperbaiki keadaan ialah
menarik pohon itu dengan kekerasan dari tanah dan membuangnya ditempat luar
lapangan itu.
Juga mudah keadaan
dapat diperbaiki ketika A mencuri suatu arloji, kemudian ia ditangkap dan
arlojinya masih utuh berada di tangannya. Dengan mengembalikan arloji itu
kepada yang kecurian, neraca perimbangan dalam masyarakat tentang hal ini sudah
menjadi lurus lagi, kalau dilihat dari sudut pandang perseorangan. Dilihat dari
sudut kemasyarakatan keseimbangan dalam masyarakat baru dapat diketemukan lagi,
apabila si pencuri dibawa ke muka Pengadilan dan mendapat hukuman pidana.
Lain halnya jika si A
membuat lubang di pekarangannya, kemudian ada si B yang lewat disitu kemudian
jatuh di lubang itu. Karena sebab kelalaian si A itu sudah terjadi suatu
kecelakaan, misalnya B yang jatuh di dalam lubang itu kakinya patah. Lalu
bagaimana cara memperbaiki keadaan ini?
Kalau kaki yang patah
itu dapat disembuhkan lagi oleh dokter sehingga si B itu dapat bergerak lagi
seperti semula, maka keadaan dapat menjadi baik lagi. Tetapi kalau usaha dokter
itu gagal dan si B akan picang selamanya, maka ini akan merupakan suatu
keganjilan dalam masyarakat, yang menurut keadilan tidak bisa dibiarkan begitu
saja. Oleh karena keganjilan ini disebabkan oleh si A, dan si A juga dapat
dipertanggungjawabkan, maka keseimbangan dalam masyarakat baru dapat tercapai
lagi, apabila si A diwajibkan mengorbankan hal sesuatu untuk keuntungan si B.
Kinilah letaknya
kesulitan itu, ujud apakah yang sebaiknya pengorbanan si A itu, oleh karena
pengorbanan itu tidak mungkin lagi semacam dengan keganjilan yang diderita oleh
si B. Terpaksalah kini orang memperbandingkan dua hal yang tidak sama macamnya,
maka satu-satunya jalan ialah orang menaksir nilai harga dari keganjilan itu
dengan suatu ukuran yang mungkin terpakai juga untuk ujud pengorbanan si A. Ini
bisa, apabila keganjilan si B itu dapat diujudkan sebagai suatu kerugian yang dapat
diperhitungkan dengan uang. Misalnya si B oleh karena pincang, menjadi kurang
penghasilannya, kalau dapat dihitung, maka kekurangan ini dapat diharapkan dari
si A supaya diperbaiki secara pemberian jumlah uang kepada B. Dengan ini rasa
keadilan dapat dipuaskan dan dengan kepuasan ini luruslah lagi neraca
keseimbangan dalam masyarakat.
Burgerlijk Wetboek
dalam pasal 1372 memungkinkan suatu cara memperbaiki keadaan disamping perbaikan nama orang yang dihina, yaitu
penggantian suatu kerugian dalam alam kejasmanian, yang diderita oleh si korban
penghinaan. Bagi orang barat yang sangat mengutamakan hal kejasmanian, cara
memperbaiki keadaan semacam ini, mungkin sekali memuaskan, tetapi pada umumnya
bagi orang Timur soal penghinaan ini sama sekali bukan soal mengakibatkan suatu
kerugian dalam hal kejasmanian, melainkan soal kerokhanian belaka. Dan lagi
bagi mereka yang menganggap bahwa cara memperbaiki keadaan secara mengganti
kerugian dalam hal kejasmanian ini adalah mungkin memuaskan, masih ada banyak
kesulitan perihal menetapkan ujud kerugian yang harus diganti itu. Kalau ujud
ini dianggap dapat dirupakan sejumlah uang tunai, juga masih ada kesulitan
untuk menetapkan jumlahnya.
Dalam hal ini, BW pasal
1372 ayat 2 memberikan sedikit ancer-ancer untuk menentukan itu, dengan
menggantungkannya kepada nilai berat atau entengnya sifat penghinaan yang
terjadi, kepada kedudukan dan kekayaan kedua belah pihak dan kepada keadaan in
concreto. Dengan ancer-ancer seperti ini, sebetulnya para Hakim masih belum
tertolong, maka satu sama lain sangat tergantung dari perasaan perseorangan
dari sang Hakim.
Di lapangan hukum BW
dapat dipersoalkan, apakah ada perbedaan pengertian antara kerugian sebagai
akibat suatu perbuatan melanggar hukum di satu pihak dan kerugian sebagai akibat
dari tak pelaksanaan suatu perjanjian. Pasal 1365 BW menamakan kerugian semacam
ke satu “schade” saja, sedang kerugian semacam ke dua oleh pasal 1246 BW
dinamakan “konsten, schaden en interessen” (=biaya, kerugian dan bunga uang).
Maka timbul pertanyaan, apakah kerugian semacam kedua itu meliputi lebih dari
pada kerugian semacam ke satu, yaitu kelebihan berupa biaya dan bunga uang.
Kalau dilihat bunyi Pasal 580 ke 7 Undang-undang tentang Acara Perdata bagi
Raad van Justite dulu, maka dapat dianggap bahwa pembuat BW sebetulnya tidak
memperbedakan dua macam kerugian itu, dan bahwa dua-duanya meliputi juga
ketiadaan penerimaan suatu keuntungan, yang mula-mula diharapkan oleh si korban
seperti yang secara tepat dikatakan dalam pasal 1246 BW.
Kalau sudah ditetapkan
jumlah kerugian yang diderita oleh si korban, timbul pertanyaan apakah selalu
seluruh kerugian itu harus diganti oleh si pelanggar hukum. Misalnya dalam hal
seorang naik sepeda ditabrak oleh mobil, dan kemudian ternyata, bahwa tabrakan
ini tidak dapat melulu dipersalahkan pada si pengemudi mobil, melainkan
sebagian juga disebabkan karena kurang berhati-hatinya yang naik sepeda. Maka
adalah patut apabila hanya sebagian saja dari kerugian si penaik sepeda yang
diganti oleh si pengemudi mobil.
BAGIAN VII
HAL-HAL YANG MENGHILANGKAN SIFAT
MELANGGAR HUKUM
Diatas, bagian III,
tentang pengertian perbuatan melanggar hukum, sudah dikatakan bahwa yang
merupakan perbuatan melanggar hukum itu, tidak hanya perbuatan yang langsung
melanggar hukum, melainkan juga perbuatan yang secara langsung hanya melanggar
peraturan kesusilaan, agama atau sopan santun, akan tetapi yang menggoncangkan
neraca keseimbangan dalam masyarakat sedemikian hebatnya, sehingga pada
akhirnya toh harus ditetapkan, bahwa rasa keadilan dalam masyarakat baru dapat
merasa puas, apabila perbuatan semacam itu dianggap dilarang oleh hukum juga.
Lapangan perbatasan
antara Hukum di satu pihak dan kesusilaan, agama, dan sopan santun di lain
pihak, dalam praktek sering terlihat pada dunia perdagangan. Maka kini
tergantung dari cara memperbandingkan pelbagai barang dagangan itu, apabila
pengucapannya melampaui batas dan lantas dikatakan tidak pantas dalam hubungan
lalu lintas. Kepantasan ini hanya diukur dengan mempergunakan asas-asas atau
norma-norma yang lazim. Dipakai di dunia perdagangan. Dan asas-asas ini tidak
ada yang tertulis dalam undang-undang. Adat kebiasaanlah yang menentukan hal
ini. Kesulitan-kesulitan ini semacam ini juga terdapat dalam hubungan lalu
lintas pada umumnya, hanya tidak sehebat daripada di dunia perdagangan. Kalau setelah
mengatasi kesulitan-kesulitan ini, orang sampai pada suatu kesimpulan, bahwa
dalam keadaan tertentu dapat dikatakan, bahwa pada umumnya kini ada terjadi
suatu perbuatan melanggar hukum, maka toh masih mungkin ada hal-hal yang
menghilangkan sifat melanggar hukum dari suatu perbuatan tertentu.
Hak
Pribadi
Salah suatu hal semacam
ini ada apabila si pembuat perbuatan itu dapat menunjukan suatu hak pribadi
yang menjadi dasar dari perbuatannya itu. Sekali ditetapkan ada hak seorang
untuk melakukan suatu tindakan, ini juga ada batasnya, yaitu tidak boleh ada
“misbruik va recht” yang berarti mempergunakan suatu hak tertentu untuk
mencapai suatu tujuan yang tidak dimaksudkan dengan pemberian hak itu. Kini
unsur kesusilaan mempunyai sekedar peranan.
Pembelaan
Diri (noodweer)
Mirip dengan adanya hak
pribadi untuk melakukan perbuatan yang pada umumnya adalah melanggar hukum,
ialah hal pembelaan diri. Dapat dikatakan, bahwa setiap orang yang diserang
oleh orang lain, adalah berhak membela diri. Maka kalau orang dengan maksud
untuk membela diri, terdorong melakukan pembuatan yang pada umumnya merupakan
perbuatan melanggar hukum, dapat dibilang, bahwa sifat “melanggar hukum” lenyap
pula.
Dalam hal ini harus
diperhatikan bahwa untuk dapat menentukan ini, harus betul-betul ada keadaan
yang memerlukan seorang membela diri, jadi harus betul-betul ada suatu serangan
dari seorang lain yang ditujukan kepadanya. Dan lagi harus diperhatikan, bahwa
pembelaan diri jangan sampai melampaui batas, yaitu tidak menjelma menjadi
serangan baru terhadap yang mnyerang semula. Ini terjadi apabila yang menyerang
semula itu, sudah terang berhenti dalam serangannya, sedang yang semula
diserang, masih terus bertindak seolah-olah masih membela diri.
Keadaan
Memaksa (overmacht)
Lain hal yang
menyebutkan suatu perbuatan yang pada umumnya merupakan perbuatan melanggar
hukum, in concreto kehilangan sifat “melanggar hukum”, ialah keadaan memaksa.
Keadaan memaksa ini dapat bersifat mutlak atau relatif. Keadaan adalah
sedemikian rupa, bahwa setiap orang, siapa pun juga, oleh keadaan semacam itu
pasti terpaksa untuk melakukan perbuatan yang pada umumnya merupakan suatu
perbuatan melanggar hukum.
Keadaan memaksa adalah
tak mutlak, apabila dalam hal seorang melakukan perbuatan melanggar hukum,
keadaannya adalah sedemikian rupa, bahwa sebetulnya orang itu dapat menjatuhkan
diri dari perbuatan itu, akan tetapi hanya dengan suatu pengorbanan kepentingan
sendiri yang begitu hebat, sehingga patutlah, bahwa seorang itu menyingkiri
pengorbanan itu dan lantas toh melakukan perbuatan melanggar hukum itu. Dengan
ini kewajiban seorang itu untuk tidak melakukan perbuatan itu, dapat dianggap
lenyap.
BAB VIII
HAL-HAL MENGENAI SUBJECT PERBUATAN
MELANGGAR HUKUM YANG MELENYAPKAN PERTANGGUNGANJAWAB SUBJECT ITU
Sifat “melanggar hukum”
yang ditinjau dalam bagian VII di muka adalah mengenai perbuatannya dengan
tidak sekali memandang tubuh dan kedudukan dari subject perbuatan melanggar
hukum. Yang sekarang mendapat giliran ditinjau adalah hal-hal mengenai subject
perbuatan melanggar hukum, yang mengakibatkan seorang subject itu, meskipun
melakukan suatu perbuatan melanggar hukum, toh tidak dapat
dipertanggungjawabkan.
Perintah
kepegawaian (ambtelijk bevel)
Hal ini adalah hal
seorang pegawai Negeri, yang dalam menjalankan tugas melakukan suatu perbuatan,
yang pada umumnya, kalau dilakukan oleh seorang partikelir, merupakan perbuatan
melanggar hukum. Dalam hukum Pidana pelenyapan pertanggungjawab ini disebutkan
oleh Pasal 51 KUHP. Peraturan seperti ini dilapangan hukum Perdata yang termuat
dalam undang-undang, tidak ada. Maka dari itu harus ditinjau apakah dianggap
patut oleh rasa keadilan dalam masyarakat, bahwa seorang pegawai Negeri yang
dalam melakukan tugasnya melakukan perbuatan yang pada umumnya masuk pengertian
perbuatan melanggar hukum dan dengan perbuatan itu merugikan orang lain, dapat
ditegur untuk mengganti kerugian itu dengan kekayaan harta benda milik sendiri.
Soal ini terlepas dari
kenyataan, bahwa pada umumnya kekayaan milik pegawai negeri itu mungkin sekali
tidak cukup untuk menutupi jumlah kerugian yang diderita sebagai akibat
perbuatannya. Kalau dengan prinsip ini yang untuk Hukum Pidana disebutkan dalam
Pasal 51 ayat 1 KUHP tersebut, dapat dianggap berlaku juga dalam hukum perdata
perihal perbuatan melanggar hukum, maka sekiranya tiada keberatan untuk mengambil
pula ayat 2 dari pasal itu sebagai pedoman dalam hukum perdata. Menurut ayat
ini, kalau perintah yang diterima oleh pegawai negeri itu, diberikan oleh
pegawai negeri itu, diberikan oleh seorang penguasa yang dalam hal ini tidak
berkuasa untuk memberikan perintah itu, maka pada umumnya seorang pegawai
Negeri yang melaksanakan perintah itu, dapat dipertanggungjawabkan, kecuali
apabila seorang pegawai negeri ini secara jujur mengira, bahwa perintah itu
diberikan oleh seorang penguasa yang berkuasa untuk itu, dan lagi apabila
pegawai negeri itu dalam melakukan perbuatan yang bersangkutan ini, tidak
melampau batas lingkungan tugasnya.
Dalam hukum pidana ada
dua hal lagi mengenai subject perbuatan melanggar hukum, yang melenyapkan
pertanggungan jawab seorang subject itu di lapangan hukum pidana, yaitu seorang
yang gila dan seorang yang kurang umurnya. Hal tersebut ada di Pasal 44 dan 45
KUHP.
Kini pun hukum perdata
tidak memuat suatu peraturan dalam undang-undang, maka timbul pertanyaan,
apakah prinsip yang termuat dalam pasal 44 dan 45 KUHP itu juga dapat
diperhatikan di lapangan hukum perdata. Hanya saja harus dicamkan, bahwa dalam
seorang gila atau seorang muda melakukan perbuatan melanggar hukum itu, pihak
yang langsung dapat ditegur di muka Hakim ialah seorang yang menurut hukum
perdata mewakili seorang gila atau seorang muda itu dalam tindakan mereka pada
umumnya dalam masyarakat, yaitu bagai orang gila. Seorang yang bertugas
mengurus orang dan kekayaan harta bendanya, dan bagi orang muda; orang tua atau
wakilnya.
Bahwa kesalahan subjek
perbuatan melanggar hukum, yaitu kesenjangan atau hal kurang berhati-hati
adalah syarat bagi suatu perbuatan melanggar hukum, supaya subjek itu dapat
diwajibkan membayar penggantian kerugian. Salah suatu sudut dari unsur
kesalahan ini adalah hal diketahui oleh subjek itu adanya pelbagai sekitar
suatu perbuatan, yang menyebabkan perbuatan itu menjadi perbuatan melanggar
hukum. Hal dapat diketahui ini dapat mengenai keadaan atau mengenai hukum yang
berlaku. Kalau keadaan dan hukum ini diketahui semuanya oleh subjek perbuatan,
maka sudah terang subjek itu dapat dipertanggungjawabkan. Kalau salah satu atau lebih dari pelbagai
keadaan tidak diketahui oleh subjek perbuatan melanggar hukum, maka tergantung
dari sifat keadaan itu, apa seorang subjek dapat dipertanggungjawabkan. Keadaan
ini dapat bersifat biasa atau istimewa. Kalau bersifat biasa, maka setiap orang
dapat dianggap tahu adanya keadaan itu, meskipun barangkali in concreto seorang
subjek tertentu yang amat tolol, tidak tahu keadaan itu.
Kalau suatu keadaan
adalah bersifat istimewa sedemikian rupa, sehingga tidak segenap orang-orang
biasa dapat dianggap mengetahuinya, maka apabila ada orang tertentu mengatakan
tidak tahu adanya keadaan itu, dapat dipersoalkan, apa orang itu toh dapat
dianggap mengetahui keadaan itu, ini tergantung dari soal apakah seorang
tertentu masuk golongan orang-orang yang cukup berahli untuk dapat dianggap
tahu adanya keadaan yang istimewa itu.
Hak
menghakimi sendiri (eigen richting)
Pelaksanaan hukum
secara paksaan terhadap seorang yang melanggar hukum, berada di tangan Hakim,
dan pada prinsip tidak diperkenankan pada seorang yang dirugikan oleh suatu
perbuatan melanggar hukum. Alasan dari prinsip ini bersifat negatif, yaitu apabila prinsip ini tidak dipergunakan,
maka dalam masyarakat akan ada kekacauan. Untuk dapat menentukan seseorang
melanggar hukum atau tidak, perlu adanya suatu pikiran orang ketiga yang tak
berat sebelah dan yang dapat menimbang secara jujur pelbagai kepentingan dari
kedua belah pihak.
Untuk menyelesaikan
suatu persoalan, dapat dicapai suatu pelaksanaan hukum diluar perantaraan
Hakim, tetapi tidak dengan paksaan, melainkan secara berdamai dengan pihak
lain. Sebetulnya cara menyelesaiakan suatu perkara secara perdamaian diluar
perantaraan Hakim ini sangat baik dan dapat memuaskan kedua belah pihak,
laksana suatu neraca keseimbangan yang mula-mula goncang tetapi dengan
sendirinya dari kodrat alam menjadi lurus lagi.
Pasal 1155 BW
menentukan bahwa dalam hal seorang A menggadai suatu barang bergerak dari
seorang B, kalau si B tidak membayar hutang pada waktu yang ditentukan, maka si
A dapat seketika itu juga melelangkan barang yang digadaikan itu, agar dari
uang pendapatannya dapat diambil pembayaran hutang dengan bunga-bunganya dan
biaya-biaya yang bersangkutan. Ini adalah suatu contoh, bahwa hukum memberi
izin bagi seseorang untuk menghakimi sendiri, sebab seorang itu boleh bertindak
guna melaksanakan hukum diluar perantaraan hakim dengan tidak ada persetujuan
dulu dari pihak lain.
Dalam syarat BW yang
mengandung prinsip kodifikasi yaitu mengumpulkan peraturan-peraturan hukum yang
sejenis dalam satu undang-undang, adalah agak mudah untuk menemukan suatu hal,
dalam mana hukum memperkenankan seorang akan menghakimi sendiri, sebab
kebanyakan hukum terpaku undang-undang.
BAB IX
BADAN HUKUM SEBAGAI PELANGGAR HUKUM
Diatas sudah
dikemukakan, bahwa seorang pegawai Negeri tidak dapat dipertanggungjawabkan
atas suatu kerugian akibat dari perbuatan yang dilakukan oleh seorang pegawai
itu dalam menjalankan tugasnya. Dalam hal ini yang bertanggung jawab ialah
badan hukum yang menerima dan mengangkat seorang itu sebagai pegawai, yaitu
Negara atau suatu daerah yang berotonomi, seperti suatu Propinsi, Kabupaten
atau suatu kota Praja.
Pertanggungan jawab ini
adalah bersifat langsung, oleh karena para pegawai itu dapat dianggap sebagai
alat-alat belaka dari negara atau dari daerah otonom. Penganggapan sebagai alat
belaka ini dapat dimengerti, apabila diingat bahwa tugas dari seorang pegawai
hanya merupakan sebagian kecil saja dari rangkaian peraturan-peraturan yang
amat luas dan yang mengatur jalannya negara. Tindakan seorang pegawai sebagai
alat perlengkapan pemerintah dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu tindakan
sebagai pemerintahan dan tindakan seperti orang perseorangan belaka, misalnya
dalam hal menjual dan membeli barang-barang.
Sudah sejak dahulu kala
dibutuhkan adanya pengertian badan hukum, yaitu badan yang disamping
orang-orang manusia perseorangan juga dianggap dapat bertindak dalam hukum, dan
yang mempunyai hak-hak, kewajiban dan perhubungan hukum terhadap orang lain
atau badan lain. Yang terutama dibutuhkan ialah adanya kekayaan yang terpisah
dari kekayaan orang perseorangan dan yang harus dianggap dimiliki oleh sebuah
badan di luar orang perseorangan,
sehingga tidak dapat terjadi orang perseorangan mengambil tindakan semau-maunya
terhadap kekayaan itu. Tindakan yang dapat berakibat terhadap itu, harus
dilakukan oleh suatu badan di luar orang perseorangan. Badan hukum ini dapat
berupa suatu negara, suatu daerah otonom, suatu perkumpulan orang-orang, suatu
perusahaan, atau harta benda yang tertentu.
Badan-badan ini semua
dapat turut serta dalam pergaulan hidup di masyarakat, dapat menjual atau
membeli barang, dapat sewa atau menyewakan barang, dapat tukar menukar barang,
dapat menjadi majikan dalam persetujuan perburuhan, dan dapat
dipertanggungjawabkan atas tindakan melanggar hukum yang merugikan orang lain. Dalam
segala tindakan-tindakan tersebut, badan-badan hukum itu dipandang seolah-olah
tidak berbeda dari seorang manusia. Akan tetapi perihal perbuatan melanggar
hukum, ada suatu unsur yang mungkin menimbulkan kesulitan, yaitu kesalahan yang
harus ada pada subjek perbuatan melanggar hukum.
Maka suatu perbuatan
melanggar hukum yang dilakukan oleh seorang manusia, yang kebetulan merupakan
suatu alat dari suatu badan hukum, boleh dianggap sebagai perbuatan langsung
dari badan hukum itu. Tentunya seorang itu harus in concreto bertindak sebagai
alat dari badan hukum itu, artinya harus tidak keluar dari lingkungan pekerjaan
badan hukum itu dan harus bertindak menurut anggaran dasar dari badan hukum
itu.
Sekali lagi, ini hanya
mengenai cara mempertanggungjawabkan si badan hukum, yaitu langsung atau tidak
langsung. Dalam hal-hal yang BW adalah berlaku perbedaan praktis terletak pada
soal bahwa perihal pertanggungan jawab langsung, pasal 1365 BW lah yang
berlaku, sedang perihal pertanggungan jawab tak langsung, pasal 1367 BW lah
yang berlaku.
BAGIAN X
PERTANGGUNGAN JAWAB ATAS PERBUATAN
ORANG LAIN YANG MELANGGAR HUKUM
Seorang subjek
perbuatan melanggar hukum dapat mempunyai suatu kedudukan tertentu dalam
masyarakat sedemikian rupa, sehingga dirasakan adil atau patut, bahwa disamping
orang itu, atau dengan menyampingkan orang itu, seharusnya ada seorang lain
yang juga dipertanggungjawabkan. Alasan untuk ini terletak pada dua macam sifat
perhubungan hukum antara seorang subjek perbuatan melanggar hukum dan orang
lain itu, yaitu yang pertama sifat pengawasan atas seorang subjek itu, yang
diletakan atas pundak orang lain, dan sifat yang kedua sifat pemberian kuasa
oleh orang lain kepada subjek itu untuk menarik orang lain itu dalam resiko
perekonomian dari perbuatan melanggar hukum.
Hal
pengawasan
Ada kalanya seorang
dalam pergaulan hidup masyarakat menurut hukum berada di bawah pengawasan orang
lain, seperti halnya anak-anak dibawah pengawasan orang tua atau wali, seorang
curandus dalam hal curatele dibawah pengawasan seorang curator.
Dalam hal ini seorang
pengawas dapat dianggap mempunyai tugas untuk menjaga, jangan sampai seorang
yang diawasi itu melakukan perbuatan melanggar hukum. Dalam rangkaian tata
tertib yang seharusnya ada dalam tiap-tiap masyarakat, seorang pengawas itu
harus turut berusaha menghindarkan kegoncangan dalam neraca keseimbangan di
masyarakat, yang mungkin akan disebabkan oleh tingkah laku orang yang diawasi
itu.
Dalam hal seorang
dewasa dalam pengawasan curatele menurut Burgerkijk Wetboek pasal-pasal 433-462
atau menurut Reglemen Indonesia yang dibaharui (Herziene Inland reglement
H.I.R.) pasal-pasal 229-233, sifat pengawasan tergantung dari alasan mengadakan
curatele ini. Kalau curatele ini berdasar atas suatu penyakit jiwa dari
curandus, maka pengawasan yang harus dilakukan oleh curator, adalah lebih
mendalam daripada curatele didasarkan pada keborosan dari curandus. Dalam hal
hubungan majikan buruh pengawasan yang seharusnya dilakukan oleh majikan
terhadap buruh, sangat tergantung dari sifat masing-masing perjanjian
perburuhan. Ada suatu persamaan prinsip dalam bermacam-macam perburuhan ini,
yaitu bahwa pengawasan dan pertanggungan jawab si majikan terbatas pada
lingkungan perburuhan masing-masing. Kalau si buruh melampaui atas lingkungan ini,
artinya menginjak lapangan lain daripada tugasnya sebagai buruh tertentu, maka
lepaslah majikan dari kewajiban mengawasi dan dari pertanggungan jawab atas
akibat perbuatan melanggar hukum, yang mungkin dilakukan oleh si buruh itu.
Pemberian
kuasa dengan resiko perekonomian
Sering terjadi suatu
pertimbangan tentang dirasakan adil dan patut untuk mempertanggungjawabkan
seorang atas perbuatan orang lain, terletak pada soal perekonomian, yaitu kalau
kenyataan, bahwa orang yang melakukan perbuatan melanggar hukum itu, ekonomis
tidak begitu kuat sehingga percuma saja, kalau orang itu dipertanggungjawabkan,
oleh karena kekayaan harta bendanya tidak cukup guna menutup kerugian yang
disebabkan olehnya dan yang diderita oleh orang lain. Kalau misalnya seorang
sopir dalam menjalankan mobil secara kurang berhati-hati menabrak mobil lain,
sehingga mobil yang ditabrak itu menjadi sangat rusak, maka bagi pemilik mobil
yang rusak itu, tiada gunanya untuk menggugat si sopir di muka Hakim perdata,
karena kekayaan si sopir tentunya jauh kurang cukup untuk menutup kerugian itu.
Kalau diingat, bahwa si
sopir itu pada turut sertanya dalam kancah pergaulan hidup perekonomian di
masyarakat tak lain tak bukan bertindak atas perintah majikannya dan
menjalankan mobil itu melulu untuk kepentingan majikan. Maka kini ada suatu
pemberian kuasa majikan kepada sopir untuk menjalankan mobil dengan pengambilan
resiko perekonomian oleh si majikan.
Pengambilan resiko ini
ada batasnya, kalau sopir menggunakan mobil untuk keperluannya sendiri,
menyimpang dari tugas yang diberikan oleh majikan. Maka dari sudut pihak
majikan dapat dikemukakan, bahwa bukan sampai kesitulah luasnya pemberian kuasa
dengan resiko perekonomian. Tetapi kini muncul unsur lain dari soal pertanggung
jawab, yaitu hal pengawasan yang diatas sudah dibicarakan secukupnya. Maka
sebetulnya dua unsur ini, yaitu hal pengawasan dan hal pemberian kuasa dengan
resiko perekonomian, dua-duanya kalau perlu harus dipergunakan untuk memberi
alasan yang tepat guna mempertanggungjawabkan si majikan atas perbuatan si
buruh yang melanggar hukum. Ini semua biasanya hanya berlaku apabila sopir ada
kesalahan menabrak mobil lain, kalau kesalahan itu dari pengemudi lain maka
majikan juga terlepas dari pertanggungan jawab.
BAGIAN XI
PERTANGGUNGAN JAWAB ATAS KEADAAN
BARANG ATAU HEWAN
Seorang tidak hanya
dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan orang lain, tetapi juga atas keadaan
barang atau hewan. Kalau barang itu digerakan oleh orang, seperti suatu mobil
dijalankan oleh seorang pengemudi, atau seekor kuda dinaiki oleh seorang
manusia, dan barang atau hewan itu menurut saja apa yang dikehendaki oleh orang
manusia itu. Maka hal ini termasuk pertanggungan jawab langsung dari seorang
manusia ini, hal mana sudah dikupas seperlunya diatas.
Yang kini masih harus
mendapat kepuasan sendiri ialah hal keadaan barang atau hewan, yang dengan
tidak digerakan oleh seorang manusia, mengakibatkan kerugian orang lain.
Seperti dari suatu rumah oleh karena suatu sebab, beberapa genteng merosot ke
bawah kemudian menjatuhi orang yang kebetulan lewat situ; atau seekor anjing
milik si A menggigit seorang B; atau rumah pohon milik si S rebah lalu
menjatuhi rumah seorang tetangga, si T.
Dari dua unsur yang
diatas disebutkan sebagai alasan untuk mempertanggungjawabkan seorang atas
perbuatan orang lain, yaitu hal pengawasan dan hal pemberian kuasa dengan
resiko perekonomian, kini hanya satu saja yang dapat dipertanggungjawabkan,
yaitu hal pengawasan atas barang atau hewan itu. Kalau ada orang atau badan
hukum yang menurut suatu peraturan hukum berwajib mengadakan pengawasan
terhadap barang atau hewan itu, maka dapat ditinjau, apakah hal diakibatkannya
suatu kerugian oleh keadaan barang atau hewan itu, disebabkan oleh karena
pengawasan terhadap barang atau hewan itu kurang baik dilakukan.
Kalau hal menanggung
segala resiko perekonomian ini dianggap ada, maka pada prinsip seorang pemilik
barang itu harus dianggap selalu bertanggung jawab atas segala kerugian, yang
mungkin akan disebabkan oleh keadaan barang atau hewan itu. Dan hanya sebagai
perkecualian pertanggung jawab itu dapat dikurangi atau barangkali dilenyapkan
sama sekali dalam hal in concreto si pemilik barang atau hewan dapat
mengemukakan, dan membuktikan, bahwa ia sudah berusaha sekuat-kuatnya dalam
mengawasi barang atau hewan itu. Sekiranya inilah juga yang dimaksudkan oleh
pasal 1367 ayat 1 BW yang mengatakan, bahwa seorang dapat dipertanggungjawabkan
atas suatu kerugian, yang disebabkan oleh barang-barang yang berada di bawah
pengawasannya. Dan tentunya pertanggungan jawab dapat dilenyapkan atau
dikurangi juga dalam keadaan memaksa, atau apabila penderitaan kerugian sama
sekali atau sebagian disebabkan oleh kesalahan si penderita sendiri.
Sampai dimana
pengawasan barang atau hewan ini harus diadakan, agar supaya pertanggungan
jawab si pemilik barang dapat dilenyapkan atau dikurangi adalah hal yang harus
ditinjau dari sudut keadaan satu per satu, dan tergantung pula dari
syarat-syarat lalulintas dan kesusilaan, yang dalam suatu masyarakat dirasakan
harus dipenuhi. Dalam hal ini barang-barang yang berada di bawah pengawasan
seorang, dapat dibagi atas macam-macam barang berhubung dengan soal sampai
dimana barang itu dapat membahayakan terhadap orang atau barang lain. Maka
unsur membahayakanlah yang kini menjadi faktor penting.
Sifat dan cara
pengawasan yang seharusnya dilakukan terhadap pelbagai hewan itu, tentunya
berlainan satu sama lain. Dan kalau keharusan itu dilanggar oleh seorang
pemilik hewan itu, ia dapat dipertanggungjawabkan atas macam-macam kerugian
yang mungkin disebabkan oleh gerak gerik hewan itu.
Kesalahan atau tidak
dari pihak pengawas barang juga harus ditinjau dari sudut apakah si pengawas
tahu atau tidak tahu hal adanya bahaya yang melekat pada suatu barang atau
hewan, dan kalau tidak tahu, apakah seorang manusia biasa mestinya harus tahu
adanya bahaya itu. Ini mengenai soal kesalahan seorang pemilik barang seperti
halnya suatu perbuatan melanggar hukum pada umumnya.
Sebaliknya, ada dua hal
yang melenyapkan atau mengurangi pertanggungan jawab pemilik barang, yaitu
keadaan memaksa (overmacht) dan kesalahan sendiri dari pihak yang dirugikan.
Kalau pemakaian suatu
barang memerlukan suatu keahlian, seperti senapan, mobil,kapal layar, suatu
kapal udara, yang juga masuk barang-barang yang menjadi membahayakan kalau
dipakai, maka pertanggungan jawab berpindah dari si pemilik kepada si pemakai,
kalau sudah jelas, bahwa si pemakai itu adalah orang yang ahli memakai barang
itu. Si pemakailah yang selanjutnya berwajib mengawasi barang itu sambil
memakainya.
Kalau dalam memakai
barang-barang ini, ada kecelakaan yang menyebabkan orang lain mendapat rugi,
misalnya ada tabrakan antara dua mobil, maka untuk pertanggungan jawab harus
diketemukan suatu kesalahan dari si
pemakai.
BAGIAN XII
PERTANGGUNGAN JAWAB NEGARA ATAS PERBUATAN ALAT PERLENGKAPAN
PEMERINTAH, YANG MELANGGAR HUKUM
Negara dan badan hukum
publik lainnya seperti propinsi, kabupaten, dan kota praja turut serta dalam
pergaulan hidup di masyarakat secara dua macam yaitu yang pertama secara sama
dengan badan hukum partikelir seperti jual beli barang, sewa menyewakan barang
dan lain sebagainya; yang kedua secara tindakan dalam kedudukannya sebagai
pemerintah, yang seperti juga dikatakan oleh pasal 82 UUD Sementara bertugas
untuk menyelenggarakan kesejahteraan Indonesia. Dengan kemungkinan ada tindakan
badan-badan Pemerintah secara macam kedua ini, maka segala sesuatu yang
diucapkan diatas perihal pertanggungan jawab badan hukum atas perbuatan
melanggar hukum, tidak begitu saja dapat dipakai untuk mengupas pertanggungan
jawab negara atas perbuatan alat perlengkapan pemerintah yang melanggar hukum.
Dalam turut sertanya
negara di dalam pergaulan di masyarakat, ada perbuatan melanggar hukum, yang
dapat dilakukan oleh badan-badan pemerintah, tidak oleh orang partikelir,
seperti tindakan menarik pajak, tindakan dari Dinas Kesehatan Umum, tindakan
Jawatan Kepolisian, dan lain sebagainya; tindakan-tindakan ini semua masuk
tugas pemerintah. Sebaliknya, ada perbuatan melanggar hukum yang hanya dapat
dilakukan oleh orang-orang partikelir saja, seperti mencuri atau menggelapkan
barang, menipu orang lain, dan sebagainya. Oleh karena tidak mungkin negara
dengan sengaja mencelakakan seorang penduduk, sebab segala tindakan pemerintah
harus dianggap dimaksudkan untuk memajukan kesejahteraan rakyat.
Dalam menentukan
pengertian perbuatan melanggar hukum saja sudah timbul kesulitan. Seperti sudah
dikatakan diatas, seorang partikelir juga dapat dikatakan melakukan perbuatan
melanggar hukum, apabila perbuatannya itu dipandang tidak pantas dalam perasaan
kesusilaan pada perhubungan lalu lintas. Justru karena turut serta pemerintah
dalam pergaulan hidup di masyarakat berlainan ujud dan sifatnya, maka ukuran
kesusilaan yang lazim dipakai untuk mengukur perbuatan orang-orang partikelir,
tidak dapat begitu saja dipergunakan untuk mengukur tindakan pemerintah.
Tindakan badan-badan pemerintah ini semua menurut pelbagai aturan yang semula
sudah ditetapkan oleh atau atas kuasa undang-undang. Maka perbuatan alat
perlengkapan pemerintah dapat dianggap tidak pantas dalam masyarakat, apabila
pemerintah mempergunakan kekuasaan menurut Hukum Tata usaha Pemerintah untuk
suatu tujuan yang tidak dimaksudkan oleh hukum Publik itu.
BAGIAN
XIII
PERBUATAN
MELANGGAR HUKUM TERHADAP TUBUH DAN JIWA SEORANG MANUSIA
Diatas di bagian IV tentang akibat perbuatan
melanggar hukum telah dikemukakan bahwa suatu perbuatan melanggar hukum
menyebabkan suatu keganjilan dalam masyarakat. Keganjilan ini dapat mengenai
pelbagai kepentingan seorang manusia, seperti kekayaan, tubuh, jiwa, dan
kehormatan seorang manusia. Kepentingan mengenai kekayaan seorang manusia mudah
dapat diraba dan dirasakan, dan suatu kerugian terhadap kekayaan mudah pula
dapat digambarkan dan oleh karena itu mudah diujudkan, apa yang harus diperbuat
untuk mengganti kerugian.
Lain halnya dengan kepentingan mengenai tubuh, jiwa,
dan kehormatan seorang manusia. Seorang yang mati tidak mungkin dianamakan
menderita suatu kerugian, oleh karena tidak dapat lagi merasakan hal sesuatu.
Maka kalau dalam hal ini ada suatu penderitaan kerugian, orang yang menderita,
tentunya seorang yang masih hidup. Kalau kerugian ini hanya dihubungkan saja
dengan hal kekayaan, maka pelbagai orang mungkin mendapat rugi dari kematian
seorang. Pasal 1370 BW menyebabkan tiga macam orang-orang, yaitu yang pertama
suami/istri dari yang meninggal dunia, yang kedua anak-anaknya, yang ketiga
orang tuanya. Hanya tiga golongan ini oleh pasal tersebut diberi hak menuntut
ganti kerugian.
Dari tiga golongan tersebut diatas yang mendapat
ganti kerugian, masih diadakan perbatasan lagi oleh BW, yaitu dibatasi pada
orang-orang yang biasanya menerima nafkah dari hasil pekerjaan almarhum. Maka
kalau tiga golongan tersebut dalam penghidupannya tidak tergantung dari
pekerjaan almarhum, mereka dianggap tidak menderita kerugian, sebagai akibat
dari matinya almarhum. Jumlah ganti kerugian harus ditetapkan dengan mengingat
kedudukan dan kekayaan kedua belah pihak, yaitu pertama yang berwajib memberi
ganti kerugian, dan yang kedua yang berhak menerima ganti kerugian.
Dengan ini sebetulnya dibatasi lagi pertanggungan
jawab si pembuat perbuatan melanggar hukum, sekedar ia adalah seorang miskin,
karena itu seorang miskin ini tidak diwajibkan mengganti kerugian sepenuhnya,
bahkan mungkin sama sekali terlepas dari penggantian kerugian, kalau ia adalah
sangat miskin.
Sekarang hal perbuatan melanggar hukum yang mengenai
tubuh seorang manusia. Perbuatan ini adalah berupa suatu penganiayaan atau
suatu perbuatan kurang hati-hati, yang mengakibatkan seorang lain mendapat luka
atau cacat. Pasal 1371 BW mengadakan peraturan tentang hal ini. Menurut pasal
ini dua macam kerugian dapat dimintakan sekaligus penggantinya, yaitu yang
pertama biaya yang diperlukan untuk menyembuhkan luka atau cacat itu, dan yang kedua
kerugian yang disebabkan oleh luka atau cacat itu.
BAGIAN
XIV
PERBUATAN
MELANGGAR HUKUM TERHADAP KEHORMATAN SEORANG MANUSIA
Pada umumnya dapat dikatakan, bahwa rasa kehormatan
adalah tersinggung, apabila keadaan seorang di muka mata khalayak digambarkan
secara demikian, sehingga seorang itu turun derajat penghargaannya atau luntur
nama baiknya. Dilihat dari sudut orang yang dihina, maka rasa malulah yang
dapat dipakai sebagai ancer-ancer untuk menetapkan, bila ada suatu penghinaan.
Ada setengah orang yang mengatakan bahwa orang hanya dapat dinamakan dihina
atau tersinggung kehormatannya, apabila derajat seorang yang diturunkan itu,
berada di lapangan baik budi atau kesusilaan. Menurut pendapat ini seorang
tidak dapat dikatakan terhina, kalau derajat penghargaan seorang itu hanya
diturunkan perihal kepintarannya atau kecakapannya atau kekayaannya. Dianggap,
bahwa seorang tidak perlu malu, kalau dikatakan tidak pintar, tidak cakap, atau
tidak kaya.
Memang dapat diakui, bahwa seorang yang tidak
pintar, tidak cakap, atau tidak kaya, tetapi yang baik budi pekertinya, tidak
kalah nama baiknya di masyarakat daripada seorang yang pintar, cakap, atau
kaya, tetapi yang budi pekertinya agak mengecewakan. Orang tidak perlu malu
kalau dikatakan, bahwa orang lain adalah lebih pintar, lebih cakap, atau lebih
kaya. Malahan orang biasanya segan menamakan dirinya lebih pintar, lebih cakap,
atau lebih kaya dari orang lain.
Ada kalanya sebagai akibat dari suatu penghinaan,
seorang yang dihina itu menderita kerugian yang bersifat perbedaan, misalnya
kalau penghinaannya adalah berupa suatu keterangan, bahwa seorang A adalah
seorang yang tidak dapat dipercaya. Seorang A itu pada waktu itu baru mencari
pekerjaan di sebuah perusahaan. Setelah ada penghinaan ini, pemimpin perusahaan
tersebut, memutuskan untuk tidak menerima A sebagai pegawai dalam
perusahaannya. Kerugian semacam ini yang diderita oleh A, sudah terang dapat
dituntut supaya diganti. Selain dari kerugian ini, si A juga pada umumnya masih
merasa dirugikan dalam kehormatannya, yaitu bahwa di mata khalayak ramai, tidak
hanya di mata pemimpin perusahaan itu, nama baik si A menjadi merosot.
Burgerlijk Wetboek mengenal dua macam pergantian
dari kerugian semacam ini, yaitu dalam pasal 1372 ayat 1 pergantian berupa
sejumlah uang dan dalam pasal 1373 suatu pergantian berupa suatu keterangan
resmi dari hakim, bahwa perbuatan tergugat bersifat menghina, dan berupa suatu
pengumuman keterangan itu secara menempelkannya di tempat umum. Pergantian
berupa uang adalah agak sulit untuk dilaksanakan. Dalam hal ini, pasal 1372
ayat 2 memberi sedikit ancer-ancer dengan menentukan, bahwa jumlah ganti rugi
itu digantungkan pada kasar atau ringannya sifat penghinaan, pada kedudukan dan
kekayaan kedua belah pihak dan pada keadaan.
BAGIAN
XV
CARA
GUGATAN ATAS PERBUATAN MELANGGAR HUKUM
Dalam sistem BW ada berbagai macam gugatan, yang
tidak boleh dicampur adukan, dalam arti, bahwa seorang penggugat tidak cukup
minta peradilan begitu saja, melainkan ia harus mengutarakan dan kalau perlu,
membuktikan suatu pelanggaran dari pasal tertentu dari BW atau undang-undang
lain, dan juga ia harus menentukan semula apa yang ia minta, yaitu misalnya
penyerahan suatu barang tertentu, atau, pengosongan suatu bangunan, atau
pembayaran ganti kerugian berwujud uang atau berwujud lain, atau suatu
perbuatan tertentu, atau larangan melakukan suatu perbuatan tertentu yang
tergugat juga belum pernah melakukan tetapi akan melakukan, kalau tidak
dilarang.
Sesuai dengan syarat sistem BW tersebut, maka pasal
102 Kitab Hukum Acara Perdata yang dulu berlaku bagi Raad van justitie dan
Residentiegerecht memperbedakan tiga macam gugatan, yang pertama gugatan yang
bersifat perseorangan, yang kedua gugatan yang bersifat perbendaan dan yang
ketiga gugatan yang bersifat campuran.
Gugatan yang bersifat perseorangan adalah berdasar
atas suatu perikatan baik yang bersumber dari suatu persetujuan maupun yang
bersumber pada peraturan Undang-Undang.
Gugatan yang bersifat perbendaan berupa penuntutan
penyerahan suatu barang harta benda, berdasar atas hak milik atau hak-hak
perbendaan lain.
Gugatan yang bersifat campuran, disebutkan satu
persatu yaitu hanya berjumlah empat: yang pertama yaitu gugatan untuk minta
barang warisan (BW pasal 834), yang kedua yaitu gugatan untuk pemisahan barang
warisan (pasal 1066 BW), yang ketiga yaitu gugatan untuk membagi barang-barang
yang terkumpul menurut undang-undang (BW pasal-pasal 128, 573, 1652), yang
keempat yaitu gugatan untuk membatasi berbagai pekarangan yang letaknya
bersampingan (BW pasal-pasal 642, 630, 643).
Gugatan yang berdasar atas suatu perbuatan yang
melanggar hukum, masuk golongan gugatan yang pertama, yaitu gugatan yang
bersifat perseorangan, karena dalam dalam syarat BW gugatan ini berdasar atas
perikatan yang bersumber pada peraturan undang-undang.