Kamis, 27 Juni 2013

resume buku perbuatan melanggar hukum dalam sudut pandang hukum perdata, karangan Prof. Dr. Wirjono Prodjodikoro,SH



BAGIAN I
ARTI KATA

Istilah” perbuatan melanggar hukum” pada umumnya adalah sangat luas artinya yaitu kalau perkataan “hukum” dipakai dalam arti yang seluas-luasnya dan hal pebuatan hukum dipandang dari segala sudut. Kini hal perbuatan melanggar hukum akan dikupas sekedar ada akibat dan penyelesaian yang diatur dengan Hukum Perdata dalam arti yang luas, yaitu yang meliputi juga Hukum Dagang. Ini perlu dikemukakan disini, oleh karena Pasal 102 Undang-undang Dasar Sementara memperbedakan Hukum Perdata dari Hukum Dagang.
Yang tidak dikupas adalah akibat dan penyelesaian dari perbuatan melanggar hukum, yang diatur dengan Hukum Pidana dan Hukum Tata Negara, termasuk Hukum Tata Usaha pemerintahan. Adapun “hukum” yang dilanggar, kini dipakai dalam arti yang seluas-luasnya, yaitu tidak hanya terbatas pada Hukum Perdata, melainkan juga meliputi Hukum Pidana dan Hukum Tata Negara.
Juga perlu semula dikemukakan disini, bahwa hal perbuatan melanggar hukum kini, lain daripada menurut sistem Burgerlijk Wetboek, tidak dimasukan dalam golongan Hukum Perjanjian (Verbintenissenrecht).

BAGIAN II
SIFAT PERBUATAN MELANGGAR HUKUM
Hukum adalah rangkaian peraturan-peraturan mengenai tingkah laku orang-orang sebagai anggota suatu masyarakat, sedang satu-satunya tujuan dari hukum ialah mengadakan keselamatan, bahagia, dan tata tertib dalam masyarakat itu. Masing-masing anggota masyarakat tentunya mempunyai pelbagai kepentingan yang beraneka warna. Ujud dan jumlah kepentingan ini tergantung dari ujud dan sifat kemanusiaan yang berada di dalam tubuh para anggota masyarakat masing-masing. Hawa nafsu masing-masing menimbulkan keinginan untuk beberapa boleh mendapat kepuasan dalam hidupnya sehari-hari, yaitu supaya segala kepentingan terpelihara sebaik-baiknya.
Kalau keinginan ini sudah sedemikian matang sehingga menimbulkan pelbagai usaha untuk melaksanakannya, maka disitulah mulai ada bentrokan antara pelbagai kepentingan para anggota masyarakat, yang kemudian diikuti pula oleh bentrokan antara orang-orangnya para anggota masyarakat itu. Akibat dari bentrokan ini adalah masyarakat goncang. Sedang kegoncangan inilah yang seberapa boleh harus dihindarkan. Dan penghindaran kegoncangan inilah yang sebetulnya masuk tujuan hukum, maka hukum menciptakan pelbagai hubungan-hubungan tertentu dalam masyarakat. Hubungan-hubungan ini bermacam-macam ujudnya.
Ada yang memperlihatkan pergaulan hidup antara orang-orang perseorangan, atau antar pelbagai gerombolan orang-orang, atau antar suatu gerombolan orang-orang dan seorang perseorangan, atau antar masyarakat seluruhnya di satu pihak dan orang-orang perseorangan atau gerombolan orang-orang di lain pihak. Juga ada hubungan-hubungan antar orang dan barang-barang tertentu. Barang-barang ini tidak hanya penting bagi orang-orang tertentu, melainkan penting juga bagi masyarakat. Sesuai dengan ini, maka Undang-Undang Dasar Sementara pun menentukan dalam Pasal 26 ayat 3, bahwa Hak milik adalah suatu functie sosial.
Dalam mengatur segala hubungan-hubungan ini, hukum bertujuan mengadakan suatu imbangan diantara pelbagai kepentingan. Dan imbangan ini tidak terutama terletak dalam dunia kelahiran, melainkan sebagian besar terletak pada dunia kerokhanian pada masyarakat. Janganlah sampai suatu kepentingan terlantar disamping suatu kepentingan lain yang terlaksana tujuan seluruhnya. Hanya kalau masyarakat mewujudkan neraca yang lurus, dapat dikatakan, bahwa ada keselamatan dalam masyarakat yang bermanfaat. Dan kelurusan neraca ini hanya dapat tercapai, kalau hukum yang mengaturnya itu dilaksanakan dihormati, tidak dilanggar.
Tetapi orang manusia tetap memiliki kesalahan dan kekhilafan dalam tingkah lakunya, maka perlu adanya peraturan hukum untuk mengatur tingkah laku manusia ini. Maka juga sudah selayaknya apabila dalam pergaulan hidup masyarakat sehari-hari selalu ada anggota masyarakat yang bertindak tidak sesuai dengan peraturan-peraturan hukum. Kalau diingat, bahwa salah satu sudut dari tujuan peraturan hukum ialah, untuk mengadakan imbangan dalam hidup lahir batin daripada masyarakat serupa dengan suatu neraca yang lurus, maka suatu pelanggaran hukumtidak boleh tidak tentu akan mengakibatkan kegoncangan neraca itu.
Dan kegoncangan ini tentu mengakibatkan suatu keganjilan, yang terlihat dalam hidup kelahiran dan terasa dalam hidup kerokhanian dalam masyarakat. Inilah semua akibat dari suatu perbuatan melanggar hukum, dilihat dari sudut kemasyarakatan. Tentunya ada keadaan bertingkat-tingkat, yaitu dari keadaan yang amat jelek sampai keadaan yang hanya sedikit berbeda dari keadaan biasa, keadaan normal. Ini tergantung dari nilai sifat jahat atau kurang jahat, yang terkandung dalam perbuatan tertentu yang melanggar hukum itu. Supaya tidak salah paham, perlu kini dikemukakan semula bahwa kekotoran tubuh masyarakat juga dapat disebabkan oleh hidup kebatinan, hidup kerokhanian dari tiap-tiap anggota masyarakat. Tetapi ini adalah lapangan lain daripada lapangan hukum.

BAGIAN III
PENGERTIAN PERBUATAN MELANGGAR HUKUM

Dalam buku-buku yang mempelopori pengupasan hal Hukum Adat, dipakai kata “delict” untuk menyebutkan suatu perbuatan yang pada umumnya tidak diperbolehkan dalam masyarakat, dan bagian Hukum Adat yang mengenai “delict” ini dinamakan “ delictenrecht”. Istilah “perbuatan melanggar hukum” adalah agak sempit, bahwa yang dimaksudkan dengan istilah ini tidak hanya perbuatan yang melanggar hukum, melainkan juga perbuatan yang secara langsung melanggar peraturan lain dari pada hukum, akan tetapi dapat dikatakan secara tidak langsung toh melanggar hukum. Yang dimaksud dengan peraturan lain ini ialah peraturan di lapangan kesusilaan, keagamaan, dan sopan santun.
Sifat yang dimaksudkan dengan istilah “perbuatan melanggar hukum” ialah bahwa perbuatan itu mengakibatkan kegoncangan dalam neraca kesimbangan dari masyarakat. Kegoncangan ini tidak hanya terdapat jika peraturan-peraturan hukum dalam suatu masyarakat dilanggar, melainkan juga apabila peraturan-peraturan kesusilaan, keagamaan, dan sopan santun dalam masyarakat dilanggar.  
Bagi Indonesia hal ini tidak begitu sulit, oleh karena dalam Hukum Adat ada suatu persamaan corak diantara peraturan-peraturan hukum di satu pihak dan peraturan-peraturan kesusilaan, keagamaan, dan sopan santun di lain pihak, yaitu semua peraturan-peraturan itu tidak termuat dalam suatu undang-undang, sehingga para penguasa, terutama para Hakim tidak begitu terikat pada kata-kata, yang ada di undang-undang. Dengan ini para Penguasa itu ada lebih berkesempatan untuk benar-benar memperhatikan rasa keadilan, yang pada tiap waktu berada dalam dada para anggota masyarakat tentang suatu hal yang tertentu.


BAGIAN IV
AKIBAT PERBUATAN MELANGGAR HUKUM

Diatas sudah disebutkan akibat umum dari suatu perbuatan melanggar hukum, yaitu kekotoran dalam tubuh masyarakat, kegoncangan dalam neraca keseimbangan dari masyarakat, atau dengan pendek dapat dinamakan suatu keganjilan. Keganjilan ini dapat mengenai pelbagai perhubungan hukum dalam masyarakat. Perhubungan hukum yang akan menemui keganjilan ini, dapat mengenai pelbagai kepentingan seorang manusia, seperti kekayaan harta benda, tubuh, jiwa, dan kehormatan seorang manusia. Kepentingan-kepentingan ini semua dapat diperkosa oleh suatu perbuatan melanggar hukum. Segala macam perkosaan kepentingan ini tentunya secara langsung dirasakan pahitnya oleh orang-orang perseorangan yang bersangkutan. Merekalah yang pertama-tama akan mengeluh kesah dan memandang suatu perbuatan melanggar hukum sebagai hal yang tidak baik. Maka dapat dimengerti, bahwa tiap perbuatan melanggar hukum mempunyai akibat, yang masuk kepentingan masyarakat seluruhnya. Dengan kata lain, bahwa suatu kepentingan dari seorang perseorangan baru mendapat perlindungan dari hukum berupa adanya suatu peraturan hukum yang melarang atau menyuruh hal sesuatu, apabila juga kepentingan masyarakat menuntut, supaya kepentingan orang perseorangan itu dilindungi.
Sebaliknya dalam teori ada kalanya suatu peraturan hukum hanya melulu melindungi suatu kepentingan masyarakat saja, tidak juga melindungi kepentingan orang-orang perseorangan. Tetapi hal seperti ini sekiranya jarang sekali terjadi, dan sebetulnya saja tidak kenal suatu contoh dari peristiwa semacam ini. Biasanya suatu peraturan yang diadakan untuk kepentingan umum tentu juga dimaksudkan untuk melindungi orang-orang perseorangan.


BAGIAN V
HAL KESALAHAN PEMBUAT PERBUATAN MELANGGAR HUKUM

Kalau dari suatu perbuatan melanggar hukum sudah ditetapkan adanya suatu perhubungan sebab akibat antara perbuatannya di satu pihak dan suatu perkosaan kepentingan di lain pihak, maka masih timbul pertanyaan, apakah akibat yang tidak menyenangkan itu, dapat dipertanggungjawabkan pada seorang pembuat pelanggaran hukum itu. Kini kita sampai pada unsur kesalahan (shuldelement) dari seorang subject, yang langsung berhubungan dengan dunia kerokhanian dari subject itu. Karena ini mengenai kerokhanian dari subject, maka sebetulnya sangat sulit untuk mengetahui dengan jelas bentuk yang sebenarnya dari kesalahan seorang subject. Soal kesalahan ini terletak pada suatu perhubungan kerokhanian antara alam pikiran dan perasaan si subject dan suatu perkosaan kepentingan tertentu.
Kalau seorang subject pada waktu melakukan perbuatan melanggar hukum itu tahu betul, bahwa perbuatannya akan berakibat suatu perkosaan kepentingan tertentu itu, maka dapat dikatakan, bahwa pada umumnya seorang subject itu dapat dipertanggungjawabkan. Syarat untuk dapat dikatakan, bahwa seorang tahu akan adanya akibat itu, ialah bahwa seorang itu tahu hal adanya keadaan-keadaan sekitar perbuatannya yang tertentu itu, yaitu keadaan-keadaan yang menyebabkan kemungkinan akibat itu akan terjadi. Perlu dikemukakan disini, bahwa pasal 1365 BW tidak memperbedakan hal kesengajaan dari hal kurang berhati-hati melainkan hanya mengatakan, bahwa harus ada kesalahan (shuld) di pihak pembuat perbuatan melanggar hukum, agar si pembuat itu dapat diwajibkan membayar ganti kerugian. Maka dalam Hukum Perdata menurut BW tidak perlu sangat dihiraukan, apa ada kesengajaan atau kurang berhati-hati. Bahwa ada dua pengertian yang dapat dan harus dipisahkan, yaitu hal perbuatan melanggar hukum dan hal kesalahan dari subject perbuatan itu.




BAGIAN VI
UJUD PENGGANTIAN KERUGIAN

Diatas telah diuraikan, bahwa tiap-tiap perbuatan melanggar hukum mengakibatkan suatu keganjilan dalam masyarakat berupa ketiadaan lagi suatu perseimbangan dalam tubuh masyarakat (evenwichtsverstoring). Kegoncangan dalam neraca perimbangan ini dengan sendirinya menimbulkan keinginan dan rasa keharusan, supaya kegoncangan itu diperbaiki, artinya supaya neraca perimbangan dalam masyarakat dijadikan lurus lagi.
Kelurusan kembali paling mudah dapat tercapai, apabila suatu perbuatan melanggar hukum berupa mendirikan hal sesuatu, yang mudah dapat dilenyapkan. Misalnya, ada larangan untuk menanam pohon di sebidang lapangan, dan ada orang yang melanggar larangan itu secara menanam pohon yang masih kecil. Maka cara memperbaiki keadaan ialah menarik pohon itu dengan kekerasan dari tanah dan membuangnya ditempat luar lapangan itu.
Juga mudah keadaan dapat diperbaiki ketika A mencuri suatu arloji, kemudian ia ditangkap dan arlojinya masih utuh berada di tangannya. Dengan mengembalikan arloji itu kepada yang kecurian, neraca perimbangan dalam masyarakat tentang hal ini sudah menjadi lurus lagi, kalau dilihat dari sudut pandang perseorangan. Dilihat dari sudut kemasyarakatan keseimbangan dalam masyarakat baru dapat diketemukan lagi, apabila si pencuri dibawa ke muka Pengadilan dan mendapat hukuman pidana.
Lain halnya jika si A membuat lubang di pekarangannya, kemudian ada si B yang lewat disitu kemudian jatuh di lubang itu. Karena sebab kelalaian si A itu sudah terjadi suatu kecelakaan, misalnya B yang jatuh di dalam lubang itu kakinya patah. Lalu bagaimana cara memperbaiki keadaan ini?
Kalau kaki yang patah itu dapat disembuhkan lagi oleh dokter sehingga si B itu dapat bergerak lagi seperti semula, maka keadaan dapat menjadi baik lagi. Tetapi kalau usaha dokter itu gagal dan si B akan picang selamanya, maka ini akan merupakan suatu keganjilan dalam masyarakat, yang menurut keadilan tidak bisa dibiarkan begitu saja. Oleh karena keganjilan ini disebabkan oleh si A, dan si A juga dapat dipertanggungjawabkan, maka keseimbangan dalam masyarakat baru dapat tercapai lagi, apabila si A diwajibkan mengorbankan hal sesuatu untuk keuntungan si B.
Kinilah letaknya kesulitan itu, ujud apakah yang sebaiknya pengorbanan si A itu, oleh karena pengorbanan itu tidak mungkin lagi semacam dengan keganjilan yang diderita oleh si B. Terpaksalah kini orang memperbandingkan dua hal yang tidak sama macamnya, maka satu-satunya jalan ialah orang menaksir nilai harga dari keganjilan itu dengan suatu ukuran yang mungkin terpakai juga untuk ujud pengorbanan si A. Ini bisa, apabila keganjilan si B itu dapat diujudkan sebagai suatu kerugian yang dapat diperhitungkan dengan uang. Misalnya si B oleh karena pincang, menjadi kurang penghasilannya, kalau dapat dihitung, maka kekurangan ini dapat diharapkan dari si A supaya diperbaiki secara pemberian jumlah uang kepada B. Dengan ini rasa keadilan dapat dipuaskan dan dengan kepuasan ini luruslah lagi neraca keseimbangan dalam masyarakat.
Burgerlijk Wetboek dalam pasal 1372 memungkinkan suatu cara memperbaiki keadaan disamping  perbaikan nama orang yang dihina, yaitu penggantian suatu kerugian dalam alam kejasmanian, yang diderita oleh si korban penghinaan. Bagi orang barat yang sangat mengutamakan hal kejasmanian, cara memperbaiki keadaan semacam ini, mungkin sekali memuaskan, tetapi pada umumnya bagi orang Timur soal penghinaan ini sama sekali bukan soal mengakibatkan suatu kerugian dalam hal kejasmanian, melainkan soal kerokhanian belaka. Dan lagi bagi mereka yang menganggap bahwa cara memperbaiki keadaan secara mengganti kerugian dalam hal kejasmanian ini adalah mungkin memuaskan, masih ada banyak kesulitan perihal menetapkan ujud kerugian yang harus diganti itu. Kalau ujud ini dianggap dapat dirupakan sejumlah uang tunai, juga masih ada kesulitan untuk menetapkan jumlahnya.
Dalam hal ini, BW pasal 1372 ayat 2 memberikan sedikit ancer-ancer untuk menentukan itu, dengan menggantungkannya kepada nilai berat atau entengnya sifat penghinaan yang terjadi, kepada kedudukan dan kekayaan kedua belah pihak dan kepada keadaan in concreto. Dengan ancer-ancer seperti ini, sebetulnya para Hakim masih belum tertolong, maka satu sama lain sangat tergantung dari perasaan perseorangan dari sang Hakim.
Di lapangan hukum BW dapat dipersoalkan, apakah ada perbedaan pengertian antara kerugian sebagai akibat suatu perbuatan melanggar hukum di satu pihak dan kerugian sebagai akibat dari tak pelaksanaan suatu perjanjian. Pasal 1365 BW menamakan kerugian semacam ke satu “schade” saja, sedang kerugian semacam ke dua oleh pasal 1246 BW dinamakan “konsten, schaden en interessen” (=biaya, kerugian dan bunga uang). Maka timbul pertanyaan, apakah kerugian semacam kedua itu meliputi lebih dari pada kerugian semacam ke satu, yaitu kelebihan berupa biaya dan bunga uang. Kalau dilihat bunyi Pasal 580 ke 7 Undang-undang tentang Acara Perdata bagi Raad van Justite dulu, maka dapat dianggap bahwa pembuat BW sebetulnya tidak memperbedakan dua macam kerugian itu, dan bahwa dua-duanya meliputi juga ketiadaan penerimaan suatu keuntungan, yang mula-mula diharapkan oleh si korban seperti yang secara tepat dikatakan dalam pasal 1246 BW.
Kalau sudah ditetapkan jumlah kerugian yang diderita oleh si korban, timbul pertanyaan apakah selalu seluruh kerugian itu harus diganti oleh si pelanggar hukum. Misalnya dalam hal seorang naik sepeda ditabrak oleh mobil, dan kemudian ternyata, bahwa tabrakan ini tidak dapat melulu dipersalahkan pada si pengemudi mobil, melainkan sebagian juga disebabkan karena kurang berhati-hatinya yang naik sepeda. Maka adalah patut apabila hanya sebagian saja dari kerugian si penaik sepeda yang diganti oleh si pengemudi mobil.


BAGIAN VII
HAL-HAL YANG MENGHILANGKAN SIFAT MELANGGAR HUKUM

Diatas, bagian III, tentang pengertian perbuatan melanggar hukum, sudah dikatakan bahwa yang merupakan perbuatan melanggar hukum itu, tidak hanya perbuatan yang langsung melanggar hukum, melainkan juga perbuatan yang secara langsung hanya melanggar peraturan kesusilaan, agama atau sopan santun, akan tetapi yang menggoncangkan neraca keseimbangan dalam masyarakat sedemikian hebatnya, sehingga pada akhirnya toh harus ditetapkan, bahwa rasa keadilan dalam masyarakat baru dapat merasa puas, apabila perbuatan semacam itu dianggap dilarang oleh hukum juga.
Lapangan perbatasan antara Hukum di satu pihak dan kesusilaan, agama, dan sopan santun di lain pihak, dalam praktek sering terlihat pada dunia perdagangan. Maka kini tergantung dari cara memperbandingkan pelbagai barang dagangan itu, apabila pengucapannya melampaui batas dan lantas dikatakan tidak pantas dalam hubungan lalu lintas. Kepantasan ini hanya diukur dengan mempergunakan asas-asas atau norma-norma yang lazim. Dipakai di dunia perdagangan. Dan asas-asas ini tidak ada yang tertulis dalam undang-undang. Adat kebiasaanlah yang menentukan hal ini. Kesulitan-kesulitan ini semacam ini juga terdapat dalam hubungan lalu lintas pada umumnya, hanya tidak sehebat daripada di dunia perdagangan. Kalau setelah mengatasi kesulitan-kesulitan ini, orang sampai pada suatu kesimpulan, bahwa dalam keadaan tertentu dapat dikatakan, bahwa pada umumnya kini ada terjadi suatu perbuatan melanggar hukum, maka toh masih mungkin ada hal-hal yang menghilangkan sifat melanggar hukum dari suatu perbuatan tertentu.
Hak Pribadi
Salah suatu hal semacam ini ada apabila si pembuat perbuatan itu dapat menunjukan suatu hak pribadi yang menjadi dasar dari perbuatannya itu. Sekali ditetapkan ada hak seorang untuk melakukan suatu tindakan, ini juga ada batasnya, yaitu tidak boleh ada “misbruik va recht” yang berarti mempergunakan suatu hak tertentu untuk mencapai suatu tujuan yang tidak dimaksudkan dengan pemberian hak itu. Kini unsur kesusilaan mempunyai sekedar peranan.
Pembelaan Diri (noodweer)
Mirip dengan adanya hak pribadi untuk melakukan perbuatan yang pada umumnya adalah melanggar hukum, ialah hal pembelaan diri. Dapat dikatakan, bahwa setiap orang yang diserang oleh orang lain, adalah berhak membela diri. Maka kalau orang dengan maksud untuk membela diri, terdorong melakukan pembuatan yang pada umumnya merupakan perbuatan melanggar hukum, dapat dibilang, bahwa sifat “melanggar hukum” lenyap pula.
Dalam hal ini harus diperhatikan bahwa untuk dapat menentukan ini, harus betul-betul ada keadaan yang memerlukan seorang membela diri, jadi harus betul-betul ada suatu serangan dari seorang lain yang ditujukan kepadanya. Dan lagi harus diperhatikan, bahwa pembelaan diri jangan sampai melampaui batas, yaitu tidak menjelma menjadi serangan baru terhadap yang mnyerang semula. Ini terjadi apabila yang menyerang semula itu, sudah terang berhenti dalam serangannya, sedang yang semula diserang, masih terus bertindak seolah-olah masih membela diri.
Keadaan Memaksa (overmacht)
Lain hal yang menyebutkan suatu perbuatan yang pada umumnya merupakan perbuatan melanggar hukum, in concreto kehilangan sifat “melanggar hukum”, ialah keadaan memaksa. Keadaan memaksa ini dapat bersifat mutlak atau relatif. Keadaan adalah sedemikian rupa, bahwa setiap orang, siapa pun juga, oleh keadaan semacam itu pasti terpaksa untuk melakukan perbuatan yang pada umumnya merupakan suatu perbuatan melanggar hukum.
Keadaan memaksa adalah tak mutlak, apabila dalam hal seorang melakukan perbuatan melanggar hukum, keadaannya adalah sedemikian rupa, bahwa sebetulnya orang itu dapat menjatuhkan diri dari perbuatan itu, akan tetapi hanya dengan suatu pengorbanan kepentingan sendiri yang begitu hebat, sehingga patutlah, bahwa seorang itu menyingkiri pengorbanan itu dan lantas toh melakukan perbuatan melanggar hukum itu. Dengan ini kewajiban seorang itu untuk tidak melakukan perbuatan itu, dapat dianggap lenyap.


BAB VIII
HAL-HAL MENGENAI SUBJECT PERBUATAN MELANGGAR HUKUM YANG MELENYAPKAN PERTANGGUNGANJAWAB SUBJECT ITU

Sifat “melanggar hukum” yang ditinjau dalam bagian VII di muka adalah mengenai perbuatannya dengan tidak sekali memandang tubuh dan kedudukan dari subject perbuatan melanggar hukum. Yang sekarang mendapat giliran ditinjau adalah hal-hal mengenai subject perbuatan melanggar hukum, yang mengakibatkan seorang subject itu, meskipun melakukan suatu perbuatan melanggar hukum, toh tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Perintah kepegawaian (ambtelijk bevel)
Hal ini adalah hal seorang pegawai Negeri, yang dalam menjalankan tugas melakukan suatu perbuatan, yang pada umumnya, kalau dilakukan oleh seorang partikelir, merupakan perbuatan melanggar hukum. Dalam hukum Pidana pelenyapan pertanggungjawab ini disebutkan oleh Pasal 51 KUHP. Peraturan seperti ini dilapangan hukum Perdata yang termuat dalam undang-undang, tidak ada. Maka dari itu harus ditinjau apakah dianggap patut oleh rasa keadilan dalam masyarakat, bahwa seorang pegawai Negeri yang dalam melakukan tugasnya melakukan perbuatan yang pada umumnya masuk pengertian perbuatan melanggar hukum dan dengan perbuatan itu merugikan orang lain, dapat ditegur untuk mengganti kerugian itu dengan kekayaan harta benda milik sendiri.
Soal ini terlepas dari kenyataan, bahwa pada umumnya kekayaan milik pegawai negeri itu mungkin sekali tidak cukup untuk menutupi jumlah kerugian yang diderita sebagai akibat perbuatannya. Kalau dengan prinsip ini yang untuk Hukum Pidana disebutkan dalam Pasal 51 ayat 1 KUHP tersebut, dapat dianggap berlaku juga dalam hukum perdata perihal perbuatan melanggar hukum, maka sekiranya tiada keberatan untuk mengambil pula ayat 2 dari pasal itu sebagai pedoman dalam hukum perdata. Menurut ayat ini, kalau perintah yang diterima oleh pegawai negeri itu, diberikan oleh pegawai negeri itu, diberikan oleh seorang penguasa yang dalam hal ini tidak berkuasa untuk memberikan perintah itu, maka pada umumnya seorang pegawai Negeri yang melaksanakan perintah itu, dapat dipertanggungjawabkan, kecuali apabila seorang pegawai negeri ini secara jujur mengira, bahwa perintah itu diberikan oleh seorang penguasa yang berkuasa untuk itu, dan lagi apabila pegawai negeri itu dalam melakukan perbuatan yang bersangkutan ini, tidak melampau batas lingkungan tugasnya.
Dalam hukum pidana ada dua hal lagi mengenai subject perbuatan melanggar hukum, yang melenyapkan pertanggungan jawab seorang subject itu di lapangan hukum pidana, yaitu seorang yang gila dan seorang yang kurang umurnya. Hal tersebut ada di Pasal 44 dan 45 KUHP.
Kini pun hukum perdata tidak memuat suatu peraturan dalam undang-undang, maka timbul pertanyaan, apakah prinsip yang termuat dalam pasal 44 dan 45 KUHP itu juga dapat diperhatikan di lapangan hukum perdata. Hanya saja harus dicamkan, bahwa dalam seorang gila atau seorang muda melakukan perbuatan melanggar hukum itu, pihak yang langsung dapat ditegur di muka Hakim ialah seorang yang menurut hukum perdata mewakili seorang gila atau seorang muda itu dalam tindakan mereka pada umumnya dalam masyarakat, yaitu bagai orang gila. Seorang yang bertugas mengurus orang dan kekayaan harta bendanya, dan bagi orang muda; orang tua atau wakilnya.
Bahwa kesalahan subjek perbuatan melanggar hukum, yaitu kesenjangan atau hal kurang berhati-hati adalah syarat bagi suatu perbuatan melanggar hukum, supaya subjek itu dapat diwajibkan membayar penggantian kerugian. Salah suatu sudut dari unsur kesalahan ini adalah hal diketahui oleh subjek itu adanya pelbagai sekitar suatu perbuatan, yang menyebabkan perbuatan itu menjadi perbuatan melanggar hukum. Hal dapat diketahui ini dapat mengenai keadaan atau mengenai hukum yang berlaku. Kalau keadaan dan hukum ini diketahui semuanya oleh subjek perbuatan, maka sudah terang subjek itu dapat dipertanggungjawabkan.  Kalau salah satu atau lebih dari pelbagai keadaan tidak diketahui oleh subjek perbuatan melanggar hukum, maka tergantung dari sifat keadaan itu, apa seorang subjek dapat dipertanggungjawabkan. Keadaan ini dapat bersifat biasa atau istimewa. Kalau bersifat biasa, maka setiap orang dapat dianggap tahu adanya keadaan itu, meskipun barangkali in concreto seorang subjek tertentu yang amat tolol, tidak tahu keadaan itu.
Kalau suatu keadaan adalah bersifat istimewa sedemikian rupa, sehingga tidak segenap orang-orang biasa dapat dianggap mengetahuinya, maka apabila ada orang tertentu mengatakan tidak tahu adanya keadaan itu, dapat dipersoalkan, apa orang itu toh dapat dianggap mengetahui keadaan itu, ini tergantung dari soal apakah seorang tertentu masuk golongan orang-orang yang cukup berahli untuk dapat dianggap tahu adanya keadaan yang istimewa itu.

Hak menghakimi sendiri (eigen richting)
Pelaksanaan hukum secara paksaan terhadap seorang yang melanggar hukum, berada di tangan Hakim, dan pada prinsip tidak diperkenankan pada seorang yang dirugikan oleh suatu perbuatan melanggar hukum. Alasan dari prinsip ini bersifat negatif,  yaitu apabila prinsip ini tidak dipergunakan, maka dalam masyarakat akan ada kekacauan. Untuk dapat menentukan seseorang melanggar hukum atau tidak, perlu adanya suatu pikiran orang ketiga yang tak berat sebelah dan yang dapat menimbang secara jujur pelbagai kepentingan dari kedua belah pihak.
Untuk menyelesaikan suatu persoalan, dapat dicapai suatu pelaksanaan hukum diluar perantaraan Hakim, tetapi tidak dengan paksaan, melainkan secara berdamai dengan pihak lain. Sebetulnya cara menyelesaiakan suatu perkara secara perdamaian diluar perantaraan Hakim ini sangat baik dan dapat memuaskan kedua belah pihak, laksana suatu neraca keseimbangan yang mula-mula goncang tetapi dengan sendirinya dari kodrat alam menjadi lurus lagi.
Pasal 1155 BW menentukan bahwa dalam hal seorang A menggadai suatu barang bergerak dari seorang B, kalau si B tidak membayar hutang pada waktu yang ditentukan, maka si A dapat seketika itu juga melelangkan barang yang digadaikan itu, agar dari uang pendapatannya dapat diambil pembayaran hutang dengan bunga-bunganya dan biaya-biaya yang bersangkutan. Ini adalah suatu contoh, bahwa hukum memberi izin bagi seseorang untuk menghakimi sendiri, sebab seorang itu boleh bertindak guna melaksanakan hukum diluar perantaraan hakim dengan tidak ada persetujuan dulu dari pihak lain.
Dalam syarat BW yang mengandung prinsip kodifikasi yaitu mengumpulkan peraturan-peraturan hukum yang sejenis dalam satu undang-undang, adalah agak mudah untuk menemukan suatu hal, dalam mana hukum memperkenankan seorang akan menghakimi sendiri, sebab kebanyakan hukum terpaku undang-undang.


BAB IX
BADAN HUKUM SEBAGAI PELANGGAR HUKUM

Diatas sudah dikemukakan, bahwa seorang pegawai Negeri tidak dapat dipertanggungjawabkan atas suatu kerugian akibat dari perbuatan yang dilakukan oleh seorang pegawai itu dalam menjalankan tugasnya. Dalam hal ini yang bertanggung jawab ialah badan hukum yang menerima dan mengangkat seorang itu sebagai pegawai, yaitu Negara atau suatu daerah yang berotonomi, seperti suatu Propinsi, Kabupaten atau suatu kota Praja.
Pertanggungan jawab ini adalah bersifat langsung, oleh karena para pegawai itu dapat dianggap sebagai alat-alat belaka dari negara atau dari daerah otonom. Penganggapan sebagai alat belaka ini dapat dimengerti, apabila diingat bahwa tugas dari seorang pegawai hanya merupakan sebagian kecil saja dari rangkaian peraturan-peraturan yang amat luas dan yang mengatur jalannya negara. Tindakan seorang pegawai sebagai alat perlengkapan pemerintah dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu tindakan sebagai pemerintahan dan tindakan seperti orang perseorangan belaka, misalnya dalam hal menjual dan membeli barang-barang.
Sudah sejak dahulu kala dibutuhkan adanya pengertian badan hukum, yaitu badan yang disamping orang-orang manusia perseorangan juga dianggap dapat bertindak dalam hukum, dan yang mempunyai hak-hak, kewajiban dan perhubungan hukum terhadap orang lain atau badan lain. Yang terutama dibutuhkan ialah adanya kekayaan yang terpisah dari kekayaan orang perseorangan dan yang harus dianggap dimiliki oleh sebuah badan  di luar orang perseorangan, sehingga tidak dapat terjadi orang perseorangan mengambil tindakan semau-maunya terhadap kekayaan itu. Tindakan yang dapat berakibat terhadap itu, harus dilakukan oleh suatu badan di luar orang perseorangan. Badan hukum ini dapat berupa suatu negara, suatu daerah otonom, suatu perkumpulan orang-orang, suatu perusahaan, atau harta benda yang tertentu.
Badan-badan ini semua dapat turut serta dalam pergaulan hidup di masyarakat, dapat menjual atau membeli barang, dapat sewa atau menyewakan barang, dapat tukar menukar barang, dapat menjadi majikan dalam persetujuan perburuhan, dan dapat dipertanggungjawabkan atas tindakan melanggar hukum yang merugikan orang lain. Dalam segala tindakan-tindakan tersebut, badan-badan hukum itu dipandang seolah-olah tidak berbeda dari seorang manusia. Akan tetapi perihal perbuatan melanggar hukum, ada suatu unsur yang mungkin menimbulkan kesulitan, yaitu kesalahan yang harus ada pada subjek perbuatan melanggar hukum.
Maka suatu perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh seorang manusia, yang kebetulan merupakan suatu alat dari suatu badan hukum, boleh dianggap sebagai perbuatan langsung dari badan hukum itu. Tentunya seorang itu harus in concreto bertindak sebagai alat dari badan hukum itu, artinya harus tidak keluar dari lingkungan pekerjaan badan hukum itu dan harus bertindak menurut anggaran dasar dari badan hukum itu.
Sekali lagi, ini hanya mengenai cara mempertanggungjawabkan si badan hukum, yaitu langsung atau tidak langsung. Dalam hal-hal yang BW adalah berlaku perbedaan praktis terletak pada soal bahwa perihal pertanggungan jawab langsung, pasal 1365 BW lah yang berlaku, sedang perihal pertanggungan jawab tak langsung, pasal 1367 BW lah yang berlaku.







BAGIAN X
PERTANGGUNGAN JAWAB ATAS PERBUATAN ORANG LAIN YANG MELANGGAR HUKUM

Seorang subjek perbuatan melanggar hukum dapat mempunyai suatu kedudukan tertentu dalam masyarakat sedemikian rupa, sehingga dirasakan adil atau patut, bahwa disamping orang itu, atau dengan menyampingkan orang itu, seharusnya ada seorang lain yang juga dipertanggungjawabkan. Alasan untuk ini terletak pada dua macam sifat perhubungan hukum antara seorang subjek perbuatan melanggar hukum dan orang lain itu, yaitu yang pertama sifat pengawasan atas seorang subjek itu, yang diletakan atas pundak orang lain, dan sifat yang kedua sifat pemberian kuasa oleh orang lain kepada subjek itu untuk menarik orang lain itu dalam resiko perekonomian dari perbuatan melanggar hukum.
Hal pengawasan
Ada kalanya seorang dalam pergaulan hidup masyarakat menurut hukum berada di bawah pengawasan orang lain, seperti halnya anak-anak dibawah pengawasan orang tua atau wali, seorang curandus dalam hal curatele dibawah pengawasan seorang curator.
Dalam hal ini seorang pengawas dapat dianggap mempunyai tugas untuk menjaga, jangan sampai seorang yang diawasi itu melakukan perbuatan melanggar hukum. Dalam rangkaian tata tertib yang seharusnya ada dalam tiap-tiap masyarakat, seorang pengawas itu harus turut berusaha menghindarkan kegoncangan dalam neraca keseimbangan di masyarakat, yang mungkin akan disebabkan oleh tingkah laku orang yang diawasi itu.
Dalam hal seorang dewasa dalam pengawasan curatele menurut Burgerkijk Wetboek pasal-pasal 433-462 atau menurut Reglemen Indonesia yang dibaharui (Herziene Inland reglement H.I.R.) pasal-pasal 229-233, sifat pengawasan tergantung dari alasan mengadakan curatele ini. Kalau curatele ini berdasar atas suatu penyakit jiwa dari curandus, maka pengawasan yang harus dilakukan oleh curator, adalah lebih mendalam daripada curatele didasarkan pada keborosan dari curandus. Dalam hal hubungan majikan buruh pengawasan yang seharusnya dilakukan oleh majikan terhadap buruh, sangat tergantung dari sifat masing-masing perjanjian perburuhan. Ada suatu persamaan prinsip dalam bermacam-macam perburuhan ini, yaitu bahwa pengawasan dan pertanggungan jawab si majikan terbatas pada lingkungan perburuhan masing-masing. Kalau si buruh melampaui atas lingkungan ini, artinya menginjak lapangan lain daripada tugasnya sebagai buruh tertentu, maka lepaslah majikan dari kewajiban mengawasi dan dari pertanggungan jawab atas akibat perbuatan melanggar hukum, yang mungkin dilakukan oleh si buruh itu.
Pemberian kuasa dengan resiko perekonomian
Sering terjadi suatu pertimbangan tentang dirasakan adil dan patut untuk mempertanggungjawabkan seorang atas perbuatan orang lain, terletak pada soal perekonomian, yaitu kalau kenyataan, bahwa orang yang melakukan perbuatan melanggar hukum itu, ekonomis tidak begitu kuat sehingga percuma saja, kalau orang itu dipertanggungjawabkan, oleh karena kekayaan harta bendanya tidak cukup guna menutup kerugian yang disebabkan olehnya dan yang diderita oleh orang lain. Kalau misalnya seorang sopir dalam menjalankan mobil secara kurang berhati-hati menabrak mobil lain, sehingga mobil yang ditabrak itu menjadi sangat rusak, maka bagi pemilik mobil yang rusak itu, tiada gunanya untuk menggugat si sopir di muka Hakim perdata, karena kekayaan si sopir tentunya jauh kurang cukup untuk menutup kerugian itu.
Kalau diingat, bahwa si sopir itu pada turut sertanya dalam kancah pergaulan hidup perekonomian di masyarakat tak lain tak bukan bertindak atas perintah majikannya dan menjalankan mobil itu melulu untuk kepentingan majikan. Maka kini ada suatu pemberian kuasa majikan kepada sopir untuk menjalankan mobil dengan pengambilan resiko perekonomian oleh si majikan.
Pengambilan resiko ini ada batasnya, kalau sopir menggunakan mobil untuk keperluannya sendiri, menyimpang dari tugas yang diberikan oleh majikan. Maka dari sudut pihak majikan dapat dikemukakan, bahwa bukan sampai kesitulah luasnya pemberian kuasa dengan resiko perekonomian. Tetapi kini muncul unsur lain dari soal pertanggung jawab, yaitu hal pengawasan yang diatas sudah dibicarakan secukupnya. Maka sebetulnya dua unsur ini, yaitu hal pengawasan dan hal pemberian kuasa dengan resiko perekonomian, dua-duanya kalau perlu harus dipergunakan untuk memberi alasan yang tepat guna mempertanggungjawabkan si majikan atas perbuatan si buruh yang melanggar hukum. Ini semua biasanya hanya berlaku apabila sopir ada kesalahan menabrak mobil lain, kalau kesalahan itu dari pengemudi lain maka majikan juga terlepas dari pertanggungan jawab.

BAGIAN XI
PERTANGGUNGAN JAWAB ATAS KEADAAN BARANG ATAU HEWAN

Seorang tidak hanya dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan orang lain, tetapi juga atas keadaan barang atau hewan. Kalau barang itu digerakan oleh orang, seperti suatu mobil dijalankan oleh seorang pengemudi, atau seekor kuda dinaiki oleh seorang manusia, dan barang atau hewan itu menurut saja apa yang dikehendaki oleh orang manusia itu. Maka hal ini termasuk pertanggungan jawab langsung dari seorang manusia ini, hal mana sudah dikupas seperlunya diatas.
Yang kini masih harus mendapat kepuasan sendiri ialah hal keadaan barang atau hewan, yang dengan tidak digerakan oleh seorang manusia, mengakibatkan kerugian orang lain. Seperti dari suatu rumah oleh karena suatu sebab, beberapa genteng merosot ke bawah kemudian menjatuhi orang yang kebetulan lewat situ; atau seekor anjing milik si A menggigit seorang B; atau rumah pohon milik si S rebah lalu menjatuhi rumah seorang tetangga, si T.
Dari dua unsur yang diatas disebutkan sebagai alasan untuk mempertanggungjawabkan seorang atas perbuatan orang lain, yaitu hal pengawasan dan hal pemberian kuasa dengan resiko perekonomian, kini hanya satu saja yang dapat dipertanggungjawabkan, yaitu hal pengawasan atas barang atau hewan itu. Kalau ada orang atau badan hukum yang menurut suatu peraturan hukum berwajib mengadakan pengawasan terhadap barang atau hewan itu, maka dapat ditinjau, apakah hal diakibatkannya suatu kerugian oleh keadaan barang atau hewan itu, disebabkan oleh karena pengawasan terhadap barang atau hewan itu kurang baik dilakukan.
Kalau hal menanggung segala resiko perekonomian ini dianggap ada, maka pada prinsip seorang pemilik barang itu harus dianggap selalu bertanggung jawab atas segala kerugian, yang mungkin akan disebabkan oleh keadaan barang atau hewan itu. Dan hanya sebagai perkecualian pertanggung jawab itu dapat dikurangi atau barangkali dilenyapkan sama sekali dalam hal in concreto si pemilik barang atau hewan dapat mengemukakan, dan membuktikan, bahwa ia sudah berusaha sekuat-kuatnya dalam mengawasi barang atau hewan itu. Sekiranya inilah juga yang dimaksudkan oleh pasal 1367 ayat 1 BW yang mengatakan, bahwa seorang dapat dipertanggungjawabkan atas suatu kerugian, yang disebabkan oleh barang-barang yang berada di bawah pengawasannya. Dan tentunya pertanggungan jawab dapat dilenyapkan atau dikurangi juga dalam keadaan memaksa, atau apabila penderitaan kerugian sama sekali atau sebagian disebabkan oleh kesalahan si penderita sendiri.
Sampai dimana pengawasan barang atau hewan ini harus diadakan, agar supaya pertanggungan jawab si pemilik barang dapat dilenyapkan atau dikurangi adalah hal yang harus ditinjau dari sudut keadaan satu per satu, dan tergantung pula dari syarat-syarat lalulintas dan kesusilaan, yang dalam suatu masyarakat dirasakan harus dipenuhi. Dalam hal ini barang-barang yang berada di bawah pengawasan seorang, dapat dibagi atas macam-macam barang berhubung dengan soal sampai dimana barang itu dapat membahayakan terhadap orang atau barang lain. Maka unsur membahayakanlah yang kini menjadi faktor penting.
Sifat dan cara pengawasan yang seharusnya dilakukan terhadap pelbagai hewan itu, tentunya berlainan satu sama lain. Dan kalau keharusan itu dilanggar oleh seorang pemilik hewan itu, ia dapat dipertanggungjawabkan atas macam-macam kerugian yang mungkin disebabkan oleh gerak gerik hewan itu.
Kesalahan atau tidak dari pihak pengawas barang juga harus ditinjau dari sudut apakah si pengawas tahu atau tidak tahu hal adanya bahaya yang melekat pada suatu barang atau hewan, dan kalau tidak tahu, apakah seorang manusia biasa mestinya harus tahu adanya bahaya itu. Ini mengenai soal kesalahan seorang pemilik barang seperti halnya suatu perbuatan melanggar hukum pada umumnya.
Sebaliknya, ada dua hal yang melenyapkan atau mengurangi pertanggungan jawab pemilik barang, yaitu keadaan memaksa (overmacht) dan kesalahan sendiri dari pihak yang dirugikan.
Kalau pemakaian suatu barang memerlukan suatu keahlian, seperti senapan, mobil,kapal layar, suatu kapal udara, yang juga masuk barang-barang yang menjadi membahayakan kalau dipakai, maka pertanggungan jawab berpindah dari si pemilik kepada si pemakai, kalau sudah jelas, bahwa si pemakai itu adalah orang yang ahli memakai barang itu. Si pemakailah yang selanjutnya berwajib mengawasi barang itu sambil memakainya.
Kalau dalam memakai barang-barang ini, ada kecelakaan yang menyebabkan orang lain mendapat rugi, misalnya ada tabrakan antara dua mobil, maka untuk pertanggungan jawab harus diketemukan suatu kesalahan  dari si pemakai.

BAGIAN XII
PERTANGGUNGAN  JAWAB NEGARA ATAS PERBUATAN ALAT PERLENGKAPAN PEMERINTAH, YANG MELANGGAR HUKUM

Negara dan badan hukum publik lainnya seperti propinsi, kabupaten, dan kota praja turut serta dalam pergaulan hidup di masyarakat secara dua macam yaitu yang pertama secara sama dengan badan hukum partikelir seperti jual beli barang, sewa menyewakan barang dan lain sebagainya; yang kedua secara tindakan dalam kedudukannya sebagai pemerintah, yang seperti juga dikatakan oleh pasal 82 UUD Sementara bertugas untuk menyelenggarakan kesejahteraan Indonesia. Dengan kemungkinan ada tindakan badan-badan Pemerintah secara macam kedua ini, maka segala sesuatu yang diucapkan diatas perihal pertanggungan jawab badan hukum atas perbuatan melanggar hukum, tidak begitu saja dapat dipakai untuk mengupas pertanggungan jawab negara atas perbuatan alat perlengkapan pemerintah yang melanggar hukum.
Dalam turut sertanya negara di dalam pergaulan di masyarakat, ada perbuatan melanggar hukum, yang dapat dilakukan oleh badan-badan pemerintah, tidak oleh orang partikelir, seperti tindakan menarik pajak, tindakan dari Dinas Kesehatan Umum, tindakan Jawatan Kepolisian, dan lain sebagainya; tindakan-tindakan ini semua masuk tugas pemerintah. Sebaliknya, ada perbuatan melanggar hukum yang hanya dapat dilakukan oleh orang-orang partikelir saja, seperti mencuri atau menggelapkan barang, menipu orang lain, dan sebagainya. Oleh karena tidak mungkin negara dengan sengaja mencelakakan seorang penduduk, sebab segala tindakan pemerintah harus dianggap dimaksudkan untuk memajukan kesejahteraan rakyat.
Dalam menentukan pengertian perbuatan melanggar hukum saja sudah timbul kesulitan. Seperti sudah dikatakan diatas, seorang partikelir juga dapat dikatakan melakukan perbuatan melanggar hukum, apabila perbuatannya itu dipandang tidak pantas dalam perasaan kesusilaan pada perhubungan lalu lintas. Justru karena turut serta pemerintah dalam pergaulan hidup di masyarakat berlainan ujud dan sifatnya, maka ukuran kesusilaan yang lazim dipakai untuk mengukur perbuatan orang-orang partikelir, tidak dapat begitu saja dipergunakan untuk mengukur tindakan pemerintah. Tindakan badan-badan pemerintah ini semua menurut pelbagai aturan yang semula sudah ditetapkan oleh atau atas kuasa undang-undang. Maka perbuatan alat perlengkapan pemerintah dapat dianggap tidak pantas dalam masyarakat, apabila pemerintah mempergunakan kekuasaan menurut Hukum Tata usaha Pemerintah untuk suatu tujuan yang tidak dimaksudkan oleh hukum Publik itu.
























BAGIAN XIII
PERBUATAN MELANGGAR HUKUM TERHADAP TUBUH DAN JIWA SEORANG MANUSIA

Diatas di bagian IV tentang akibat perbuatan melanggar hukum telah dikemukakan bahwa suatu perbuatan melanggar hukum menyebabkan suatu keganjilan dalam masyarakat. Keganjilan ini dapat mengenai pelbagai kepentingan seorang manusia, seperti kekayaan, tubuh, jiwa, dan kehormatan seorang manusia. Kepentingan mengenai kekayaan seorang manusia mudah dapat diraba dan dirasakan, dan suatu kerugian terhadap kekayaan mudah pula dapat digambarkan dan oleh karena itu mudah diujudkan, apa yang harus diperbuat untuk mengganti kerugian.
Lain halnya dengan kepentingan mengenai tubuh, jiwa, dan kehormatan seorang manusia. Seorang yang mati tidak mungkin dianamakan menderita suatu kerugian, oleh karena tidak dapat lagi merasakan hal sesuatu. Maka kalau dalam hal ini ada suatu penderitaan kerugian, orang yang menderita, tentunya seorang yang masih hidup. Kalau kerugian ini hanya dihubungkan saja dengan hal kekayaan, maka pelbagai orang mungkin mendapat rugi dari kematian seorang. Pasal 1370 BW menyebabkan tiga macam orang-orang, yaitu yang pertama suami/istri dari yang meninggal dunia, yang kedua anak-anaknya, yang ketiga orang tuanya. Hanya tiga golongan ini oleh pasal tersebut diberi hak menuntut ganti kerugian.
Dari tiga golongan tersebut diatas yang mendapat ganti kerugian, masih diadakan perbatasan lagi oleh BW, yaitu dibatasi pada orang-orang yang biasanya menerima nafkah dari hasil pekerjaan almarhum. Maka kalau tiga golongan tersebut dalam penghidupannya tidak tergantung dari pekerjaan almarhum, mereka dianggap tidak menderita kerugian, sebagai akibat dari matinya almarhum. Jumlah ganti kerugian harus ditetapkan dengan mengingat kedudukan dan kekayaan kedua belah pihak, yaitu pertama yang berwajib memberi ganti kerugian, dan yang kedua yang berhak menerima ganti kerugian.
Dengan ini sebetulnya dibatasi lagi pertanggungan jawab si pembuat perbuatan melanggar hukum, sekedar ia adalah seorang miskin, karena itu seorang miskin ini tidak diwajibkan mengganti kerugian sepenuhnya, bahkan mungkin sama sekali terlepas dari penggantian kerugian, kalau ia adalah sangat miskin.
Sekarang hal perbuatan melanggar hukum yang mengenai tubuh seorang manusia. Perbuatan ini adalah berupa suatu penganiayaan atau suatu perbuatan kurang hati-hati, yang mengakibatkan seorang lain mendapat luka atau cacat. Pasal 1371 BW mengadakan peraturan tentang hal ini. Menurut pasal ini dua macam kerugian dapat dimintakan sekaligus penggantinya, yaitu yang pertama biaya yang diperlukan untuk menyembuhkan luka atau cacat itu, dan yang kedua kerugian yang disebabkan oleh luka atau cacat itu.


BAGIAN XIV
PERBUATAN MELANGGAR HUKUM TERHADAP KEHORMATAN SEORANG MANUSIA

Pada umumnya dapat dikatakan, bahwa rasa kehormatan adalah tersinggung, apabila keadaan seorang di muka mata khalayak digambarkan secara demikian, sehingga seorang itu turun derajat penghargaannya atau luntur nama baiknya. Dilihat dari sudut orang yang dihina, maka rasa malulah yang dapat dipakai sebagai ancer-ancer untuk menetapkan, bila ada suatu penghinaan. Ada setengah orang yang mengatakan bahwa orang hanya dapat dinamakan dihina atau tersinggung kehormatannya, apabila derajat seorang yang diturunkan itu, berada di lapangan baik budi atau kesusilaan. Menurut pendapat ini seorang tidak dapat dikatakan terhina, kalau derajat penghargaan seorang itu hanya diturunkan perihal kepintarannya atau kecakapannya atau kekayaannya. Dianggap, bahwa seorang tidak perlu malu, kalau dikatakan tidak pintar, tidak cakap, atau tidak kaya.
Memang dapat diakui, bahwa seorang yang tidak pintar, tidak cakap, atau tidak kaya, tetapi yang baik budi pekertinya, tidak kalah nama baiknya di masyarakat daripada seorang yang pintar, cakap, atau kaya, tetapi yang budi pekertinya agak mengecewakan. Orang tidak perlu malu kalau dikatakan, bahwa orang lain adalah lebih pintar, lebih cakap, atau lebih kaya. Malahan orang biasanya segan menamakan dirinya lebih pintar, lebih cakap, atau lebih kaya dari orang lain.
Ada kalanya sebagai akibat dari suatu penghinaan, seorang yang dihina itu menderita kerugian yang bersifat perbedaan, misalnya kalau penghinaannya adalah berupa suatu keterangan, bahwa seorang A adalah seorang yang tidak dapat dipercaya. Seorang A itu pada waktu itu baru mencari pekerjaan di sebuah perusahaan. Setelah ada penghinaan ini, pemimpin perusahaan tersebut, memutuskan untuk tidak menerima A sebagai pegawai dalam perusahaannya. Kerugian semacam ini yang diderita oleh A, sudah terang dapat dituntut supaya diganti. Selain dari kerugian ini, si A juga pada umumnya masih merasa dirugikan dalam kehormatannya, yaitu bahwa di mata khalayak ramai, tidak hanya di mata pemimpin perusahaan itu, nama baik si A menjadi merosot.
Burgerlijk Wetboek mengenal dua macam pergantian dari kerugian semacam ini, yaitu dalam pasal 1372 ayat 1 pergantian berupa sejumlah uang dan dalam pasal 1373 suatu pergantian berupa suatu keterangan resmi dari hakim, bahwa perbuatan tergugat bersifat menghina, dan berupa suatu pengumuman keterangan itu secara menempelkannya di tempat umum. Pergantian berupa uang adalah agak sulit untuk dilaksanakan. Dalam hal ini, pasal 1372 ayat 2 memberi sedikit ancer-ancer dengan menentukan, bahwa jumlah ganti rugi itu digantungkan pada kasar atau ringannya sifat penghinaan, pada kedudukan dan kekayaan kedua belah pihak dan pada keadaan.


BAGIAN XV
CARA GUGATAN ATAS PERBUATAN MELANGGAR HUKUM

Dalam sistem BW ada berbagai macam gugatan, yang tidak boleh dicampur adukan, dalam arti, bahwa seorang penggugat tidak cukup minta peradilan begitu saja, melainkan ia harus mengutarakan dan kalau perlu, membuktikan suatu pelanggaran dari pasal tertentu dari BW atau undang-undang lain, dan juga ia harus menentukan semula apa yang ia minta, yaitu misalnya penyerahan suatu barang tertentu, atau, pengosongan suatu bangunan, atau pembayaran ganti kerugian berwujud uang atau berwujud lain, atau suatu perbuatan tertentu, atau larangan melakukan suatu perbuatan tertentu yang tergugat juga belum pernah melakukan tetapi akan melakukan, kalau tidak dilarang.
Sesuai dengan syarat sistem BW tersebut, maka pasal 102 Kitab Hukum Acara Perdata yang dulu berlaku bagi Raad van justitie dan Residentiegerecht memperbedakan tiga macam gugatan, yang pertama gugatan yang bersifat perseorangan, yang kedua gugatan yang bersifat perbendaan dan yang ketiga gugatan yang bersifat campuran.
Gugatan yang bersifat perseorangan adalah berdasar atas suatu perikatan baik yang bersumber dari suatu persetujuan maupun yang bersumber pada peraturan Undang-Undang.
Gugatan yang bersifat perbendaan berupa penuntutan penyerahan suatu barang harta benda, berdasar atas hak milik atau hak-hak perbendaan lain.
Gugatan yang bersifat campuran, disebutkan satu persatu yaitu hanya berjumlah empat: yang pertama yaitu gugatan untuk minta barang warisan (BW pasal 834), yang kedua yaitu gugatan untuk pemisahan barang warisan (pasal 1066 BW), yang ketiga yaitu gugatan untuk membagi barang-barang yang terkumpul menurut undang-undang (BW pasal-pasal 128, 573, 1652), yang keempat yaitu gugatan untuk membatasi berbagai pekarangan yang letaknya bersampingan (BW pasal-pasal 642, 630, 643).
Gugatan yang berdasar atas suatu perbuatan yang melanggar hukum, masuk golongan gugatan yang pertama, yaitu gugatan yang bersifat perseorangan, karena dalam dalam syarat BW gugatan ini berdasar atas perikatan yang bersumber pada peraturan undang-undang.