Selasa, 30 April 2013

Perbuatan melanggar Hukum




I.                   PENDAHULUAN

Sebagai makhluk sosial manusia di dalam kehidupan sehari-hari selalu berinteraksi dengan manusia yang lain. Hubungan manusia dengan manusia yang lain di dalam suatu masyarakat tujuannya adalah untuk memenuhi kebutuhannya agar dari waktu ke waktu manusia dapat mempertahankan kelangsungan hidupnya. Hubungan yang dilakukan manusia dalam kehidupan bermasyarakat ada yang bersifat hubungan sosial biasa dan ada pula yang merupakan hubungan hukum (Perdata). Di dalam hubungan interaksi sosial tersebut manusia ingin setiap perbuatan yang dilakukannya selalu berjalan dengan baik. Namun, seringkali di dalam melakukan kegiatannya terjadi masalah dengan pihak lain yang menyebabkan kerugian di salah satu pihak. Perbuatan tersebut sering disebut sebagai perbuatan melanggar hukum. Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, perbuatan melanggar hukum masuk dalam lapangan hukum perikatan, yaitu perikatan yang lahir dari undang-undang. Di dalam KUHPerdata perbuatan melanggar hukum diatur secara umum dalam Pasal 1365 sampai dengan Pasal 1369 KUHPerdata.
Perbuatan yang melanggar hukum merupakan suatu perkara yang sering terjadi di dalam masyarakat, dan penyelesaiannya masih sering menimbulkan tanda tanya karena terhadap perkara yang sama dapat terjadi putusan yang berbeda. Terhadap sengketa perbuatan melanggar hukum ini dapat terjadi baik itu dilakukan oleh perorangan atau bertindak sebagai wakil badan hukum atau juga yang dilakukan oleh orang lain yang berada di bawah tanggung jawabnya serta yang ditimbulkan oleh barang atau hewan yang berada di bawah pengawasannya, ataupun yang dilakukan oleh penguasa. Dengan terjadinya perbuatan melanggar hukum tersebut kemudian timbulah tanggung jawab si pembuat perbuatan itu kepada pihak yang dirugikan. Tetapi untuk adanya tanggung jawab itu harus dituntut dan dibuktikan dalam persidangan di pengadilan.
Di dalam KUHPerdata, perbuatan melanggar hukum termasuk dalam hukum perikatan yang lahir dari undang-undang. Dalam Pasal 1365 KUHPerdata ditentukan bahwa, tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada orang lain mewajibkan orang yang karena salahnya menyebabkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.

II.                PEMBAHASAN

A.    Pengertian Perbuatan Melanggar Hukum
Dalam KUHPerdata tidak dijumpai pengertian perbuatan melanggar hukum, hanya disebutkan pasal-pasal yang mengatur perbuatan yang melanggar hukum. Untuk itu pengertian perbuatan melanggar hukum harus dicari di luar peraturan perundang-undangan yang telah ada. Untuk itu dalam mencari pengertian perbuatan melanggar hukum kita harus mencarinya dalam doktrin-doktrin atau di dalam yurisprudensi.
Pengertian perbuatan melanggar hukum yang diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata terdapat dua ajaran, yaitu:
1.      Ajaran sempit
Perumusan perbuatan melanggar hukum menurut ajaran sempit yaitu, suatu perbuatan yang melanggar hak subyektif orang lain atau bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri dari yang berbuat dan hal itu harus berdasarkan undang-undang. Jadi, melanggar hukum adalah sama dengan melanggar undang-undang. Pengertian perbuatan melanggar hukum menurut ajaran sempit ini dianut oleh Hoge Raad sebelum tahun 1919, tepatnya sebelum adanya Arrest Hoge Raad 31 Januari 1919.
2.      Ajaran luas
Perumusan perbuatan melanggar hukum menurut ajaran luas yaitu, berbuat atau tidak berbuat yang melanggar hak orang lain atau bertentangan dengan kewajiban hukum dari orang yang berbuat demikian atau bertentangan dengan kesusilaan atau bertentangan dengan sikap hati-hati yang sebagaimana patutnya dalam pergaulan masyarakat terhadap orang atau barang orang lain.
Pengertian perbuatan yang melanggar hukum dalam arti yang luas ini dianut dan diterapkan setelah adanya Arrest Hoge Raad 31 Januari 1919 dan berlaku sampai sekarang. Penafsiran pengertian perbuatan melanggar hukum menurut ajaran luas inilah yang dianut dan diikuti oleh pengadilan di seluruh Indonesia sekarang ini.
B.     Syarat-Syarat Dalam Perbuatan Melanggar Hukum
Dengan melihat pengertian mengenai perbuatan melanggar hukum seperti yang telah dikemukakan diatas, maka dapat dikatakan bahwa suatu perbuatan merupakan perbuatan yang melanggar hukum apabila:
1.      Melanggar hak orang lain, atau
2.      Bertentangan dengan kewajiban hukum si pembuat, atau
3.      Bertentangan dengan norma kesusilaan, atau
4.      Bertentangan dengan kepatutan yang ada dalam masyarakat terhadap diri atau barang orang lain.
Dari rumusan pengertian diatas kita dapat mengetahui bahwa suatu perbuatan yang dilakukan oleh seseorang itu melanggar hukum atau tidak. Untuk dapat mengetahui perbuatan melanggar hukum yang dapat dipertanggungjawabkan kita harus mendasarkan pada ketentuan Pasal 1365 KUHPerdata.
Dalam Pasal 1365 KUHPerdata diatur mengenai unsur-unsur yang ada dalam perbuatan melawan hukum. Unsur-unsur tersebut yaitu, tiap perbuatan yang melanggar hukum, yang membawa kerugian bagi orang lain, mewajibkan orang yang karena kesalahannya menimbulkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut. Dari bunyi Pasal 1365 KUHPerdata tersebut dapat kita ketahui apa yang menjadi unsur-unsur atau syarat-syarat dari perbuatan melanggar hukum tersebut yaitu, ada perbuatan yang melanggar hukum, ada kerugian, ada kesalahan, dan ada hubungan sebab akibat antara perbuatan dengan kerugian.
Maka tanggung jawab dalam perbuatan melanggar hukum timbul bila telah memenuhi empat unsur atau syarat seperti yang telah disebutkan diatas. Unsur-unsur tersebut diatas adalah harus dibuktikan di dalam persidangan di pengadilan. Pihak tergugat akan dipertanggungjawabkan terhadap perbuatan melanggar hukum yang dilakukan jika ternyata dia dikalahkan dalam pembuktian di persidangan.



C.    Petitum Dalam Sengketa Perbuatan Melanggar Hukum
Bentuk tanggung jawab dalam perbuatan melanggar hukum tersebut berupa ganti kerugian atas perbuatan yang telah dilakukan yang menimbulkan kerugian. Ganti kerugian tersebut selain dapat dalam bentuk uang, juga dapat berupa ganti kerugian dalam bentuk yang lain. Pasal 1365 KUHPerdata memberikan kemungkinan beberapa jenis tuntutan yaitu:
1.      Ganti kerugian atas kerugian dalam bentuk uang,
2.      Ganti kerugian atas kerugian dalam bentuk natura atau pengembalian dalam keadaan seperti semula,
3.      Pernyataan bahwa perbuatan yang dilakukan adalah bersifat melanggar hukum,
4.      Larangan untuk melakukan suatu perbuatan,
5.      Meniadakan sesuatu yang diadakan secara melanggar hukum,
6.      Pengumuman suatu keputusan atau dari sesuatu yang telah diperbaiki.
Di dalam praktek, pada intinya seseorang yang melakukan perbuatan dapat dipertanggungjawabkan jika perbuatan yang dilakukannya menimbulkan kerugian bagi pihak lain. Tanggung jawab dalam perbuatan melanggar hukum berupa kewajiban untuk memberi ganti rugi atas kerugian yang telah ditimbulkannya.
Ganti rugi yang dapat diberikan dalam perbuatan melanggar hukum dapat berbentuk macam-macam tergantung apa yang dituntut oleh penggugat dalam gugatannya. Dengan demikian bentuk ganti rugi tersebut haruslah disebut dan dimuat dalam gugatan yang diajukan oleh pihak penggugat. Ganti rugi yang dapat dituntut dalam gugatan tersebut bisa berwujud uang atau pengembalian keadaan seperti semula, pernyataan bahwa tergugat melakukan perbuatan melanggar hukum, larangan atau kewajiban untuk melakukan perbuatan tertentu dan/atau berupa tuntutan untuk mengumumkan putusan hakim. Dikabulkannya tuntutan-tuntutan tersebut adalah tergantung dari hasil proses pembuktian dalam persidangan di pengadilan.
Tuntutan-tuntutan ganti kerugian atas perbuatan melanggar hukum, dalam gugatan yang diajukan oleh pihak penggugat disusun secara komulatif. Dengan demikian ada kemungkinan tuntutan yang satu ditolak dan tuntutan yang lain dikabulkan, tergantung dari pertimbangan hakim dalam pemeriksaan perkara di persidangan. Dengan demikian maka dapat dikatakan bahwa petitum terhadap sengketa perbuatan melanggar hukum di Pengadilan Negeri dapat berupa sebagai berikut:
1.      Pernyataan dan menetapkan bahwa tergugat telah melakukan perbuatan melanggar hukum,
2.      Pengembalian pada keadaan seperti semula,
3.      Ganti kerugian atas kerugian dalam bentuk uang,
4.      Larangan atau keharusan untuk melakukan suatu perbuatan tertentu berkaitan dengan perbuatan melanggar hukum tersebut.
5.      Pengumuman putusan hakim atau dari sesuatu yang telah diperbaiki.
Rumusan seperti diatas diajukan dalam gugatan secara komulatif. Pada umumnya tanggung jawab yang berupa pengembalian keadaan seperti semula telah diperhitungkan dalam sejumlah nilai uang. Dan akhirnya yang menentukan ada tidaknya tanggung jawab dalam perbuatan melanggar hukum adalah tergantung dari pertimbangan Hakim di pengadilan dalam memeriksa bukti-bukti yang diajukan oleh pihak penggugat.
Disamping tuntutan ganti kerugian tersebut harus dicantumkan dalam gugatan penggugat, tuntutan itu haruslah disertai dengan bukti-bukti yang menunjukan adanya perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh tergugat dan yang mendukung tuntutan itu guna menguatkan tuntutan tersebut. Tidak semua tuntutan penggugat dalam gugatan itu dikabulkan, tuntutan yang dikabulkan oleh hakim tergantung dari pertimbangan hakim setelah memeriksa bukti-bukti yang diajukan dalam persidangan.

Leasing



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Istilah dan Pengertian Kontrak Leasing
Istilah leasing berasal dari kata lease dalam bahasa inggris. Di dalam Pasal 1 ayat (1) Surat Keputusan Bersama Menteri keuangan, Perindustrian, dan Perdagangan Nomor: KEP-122/MK/IV/2/1974, Nomor: 32/M/SK/2/1974, dan Nomor: 30/KPB/1/1974 tentang Perizinan Usaha Leasing telah ditentukan pengertian leasing. Leasing adalah setiap kegiatan pembiayaan perusahaan dalam bentuk penyediaan barang-barang modal yang digunakan oleh suatu perusahaan untuk jangka waktu tertentu, berdasarkan pembayaran secara berkala, disertai hak pilih (opsi) bagi perusahaan tersebut untuk membeli barang-barang modal yang bersangkutan atau memperpanjang jangka waktu leasing berdasarkan nilai-nilai sisa yang disepakati.
Definisi leasing dalam surat keputusan bersama tersebut difokuskan pada pengertian leasing pada finance lease, artinya bahwa penyewa guna usaha pada masa akhir kontrak diberikan hak opsi, yaitu untuk membeli objek atau memperpanjangnya. Ada empat unsur yang terkandung dalam pengertian leasing berdasarkan definisi yang tercantum dalam surat keputusan bersama tersebut, yaitu:
1.      Penyediaan barang modal,
2.      Jangka waktu tertentu,
3.      Pembayaran dilakukan secara berkala, dan
4.      Adanya hak opsi, yaitu hak memilih untuk membeli atau memperpanjang.
Hak opsi merupakan hak dari lessee untuk membeli atau memperpanjang objek leasing. Sedangkan ciri-ciri perjanjian leasing adalah sebagai berikut:
1.      Adanya hubungan tertentu antara jangka waktu perjanjian dengan unsur ekonomis barang yang menjadi objek perjanjian.
2.      Adanya pemisahan kepentingan atas benda yang menjadi objek perjanjian. Hak milik secara yuridis tetap berada pada pihak lessor (pihak yang menyewakan) dan hak menikmati benda diserahkan kepada lessee (penyewa).
3.      Adanya kewajiban untuk memberikan penggantian atas kenikmatan yang diperoleh.

B.     TUJUAN INSTITUSI LEASING
Pada dasarnya tujuan utama dari institusi leasing adalah memperoleh hak untuk memakai benda milik orang lain. Latar belakang tujuan ini adalah berdasarkan berbagai pertimbangan ekonomis berkenaan dengan pilihan-pilihan yang harus dilakukan oleh badan usaha. Apabila suatu perusahaan memerlukan alat-alat produksi atau barang-barang modal, maka pertama kali badan usaha tersebut harus menghadapi pilihan antara lain adalah:
1.      Memperoleh hak untuk memakai suatu benda tanpa sekaligus memperoleh hak milik atas benda tersebut;
2.       Memperoleh hak untuk memakai suatu benda tersebut dengan sekaligus memperoleh hak milik atas benda tersebut.
Pilihan ini harus dilakukan karena adanya resiko ekonomis yang terikat pada pemilikan suatu benda. Yang dimaksud dengan resiko ekonomis adalah resiko yang berkenaan dengan kemungkinan bertambah atau berkurangnya nilai suatu benda yang dimiliki. Resiko ekonomis dipengaruhi oleh dua hal, yaitu:
1.      akibat pemilikan suatu benda di bidang perpajakan;
2.      kemungkinan timbulnya repercusie dalam struktur pembiayaan.

C.    RUMUSAN MASALAH
Dengan melihat uraian diatas mengenai istilah, pengertian serta tujuan leasing, maka dapat ditarik sebuah kesimpulan awal bahwa leasing merupakan sebuah cara atau metode pembiayaan yang memiliki berbagai manfaat bagi pengusaha pada khususnya dan masyarakat serta perseorangan pada umumnya. Salah satu manfaat leasing adalah bahwa seseorang dapat memulai usaha tanpa harus memiliki dahulu berbagai peralatan atau alat transportasi yang dibutuhkannya. Dengan demikian usaha dapat berjalan, roda ekonomi bergerak, lantas memberikan untung yang dari waktu ke waktu dapat membayar lunas objek barang yang tadinya menggunakan sistem leasing, objek benda pun menjadi milik sendiri. Diharapkan dari sinilah muncul berbagai pengusaha potensial yang mampu menjadi penggerak ekonomi, memberikan dampak positif bagi kemajuan ekonomi, dan tentunya berdampak luas terhadap kesejahteraan masyarakat.
Namun sangat perlu juga untuk diketahui secara mendalam mengenai leasing. Kajian secara akademis tentu sangat diperlukan sebagai pengetahuan untuk dapat dipelajari. Dalam makalah ini penyusun berusaha memberikan tulisan yang mendalam mengenai leasing dengan mengacu pada pengaturan mengenai leasing. Adapun berbagai rumusan masalah adalah sebagai berikut:
1.      apa saja jenis-jenis leasing serta apa dasar hukum kontrak leasing?
2.      siapakah yang menjadi subjek maupun objek pada perjanjian kontrak leasing?
3.      apa sajakah hak dan kewajiban dari pihak penyewa maupun dari pihak yang menyewakan?
4.      bagaimanakah pola penyelesaian jika terjadi sengketa pada perjanjian leasing?
5.      bagaimana prosedur dan syarat-syarat pendirian perusahaan leasing?
6.      apa sajakah substansi yang tercantum dalam perjanjian leasing?














BAB II
PEMBAHASAN

A.    JENIS-JENIS LEASING
Dalam Pasal 2 Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor: 1169/KMK.01/1991 tentang Kegiatan Sewa Guna (Leasing) ditentukan dua jenis leasing, yaitu:
a.       finance lease (sewa guna usaha dengan hak opsi)
b.      operating lease (sewa guna usaha dengan tanpa hak opsi)
Yang diartikan dengan finance lease adalah kegiatan guna usaha, dimana penyewa guna usaha pada akhir masa kontrak mempunyai hak untuk membeli objek sewa guna usaha berdasarkan nilai sisa yang disepakati bersama (Pasal 1 Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor: 1251/KMK.013/1988 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Lembaga Pembiayaan). Ada 3 (tiga) unsur yang tercantum dalam definisi di atas, yaitu:
a.       adanya pihak lessor dan lessee;
b.      adanya hak opsi;
c.       didasarkan atas nilai sisa (residu)
Hak opsi adalah hak yang diberikan kepada lessee untuk membeli objek leasing pada akhir masa kontrak, yang didasarkan pada nilai sisa (residu). Ada tiga kriteria sebuah kegiatan dapat digolongkan ke dalam finance lease, yaitu:
a.       jumlah pembayaran leasing selama masa sewa guna usaha pertama ditambah dengan nilai sisa barang modal, harus dapat menutup harga perolehan barang modal dan keuntungan lessor;
b.      masa sewa guna usaha ditetapkan sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun untuk barang modal Golongan I, 3 (tiga) tahun untuk barang modal Golongan II dan III, dan 7 (tujuh) tahun untuk Golongan bangunan;
c.       perjanjian sewa guna usaha memuat ketentuan-ketentuan opsi bagi lessee (Pasal 3 Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor: 1169/KMK.01/1991 tentang Kegiatan Sewa Guna Usaha (Leasing).
Yang dimaksud dengan operating lease adalah kegiatan sewa guna usaha, dimana penyewa guna usaha tidak mempunyai hak opsi untuk membeli objek sewa (Pasal 1 e Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor: 1251/KMK.013/1988 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Lembaga Pembiayaan). Kegiatan leasing digolongkan sebagai operating lease apabila memenuhi semua kriteria berikut ini.
a.       Jumlah pembayaran sewa guna usaha selama masa sewa guna usaha pertama tidak dapat menutupi harga perolehan barang modal yang dileasingkan ditambah keuntungan yang diperhitungkan oleh lessor.
b.      Perjanjian leasing tidak memuat ketentuan mengenai opsi bagi lessee (Pasal 4 Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor: 1169/KMK.01/1991 tentang Kegiatan Sewa Guna (Leasing)).
Perbedaan yang menonjol antara finance lease dengan operating lease adalah terletak pada substansi kontrak ada atau tidak adanya hak opsi. Di dalam operating lease tidak ada hak opsi, sedangkan finance lease dicantumkan hak opsi.
B.     DASAR HUKUM KONTRAK LEASING
Lembaga leasing tidak dikenal di dalam KUH Perdata, tetapi dikenal dalam praktik. Menurut sejarahnya, leasing diperkenalkan pertama kali di Amerika Serikat pada tahun 1877, oleh Bell Telephone Company untuk memasarkan hasil produksinya, yaitu alat telepon. Karena pada saat itu perusahaan sulit untuk mendapatkan kredit jangka menengah dan panjang. Pada tahun 1952 leasing mengalami perkembangan yang pesat di Amerika Serikat, yaitu dengan didirikannya United State Leasing Corporation. Sekitar tahun 1960 kegiatan leasing berkembang di Eropa Barat.
Di Indonesia kegiatan leasing diperkenalkan pertama kali pada tahun 1974, yaitu dengan keluarnya Surat Keputusan Bersama Menteri Keuangan, Perindustrian, dan Perdagangan Nomor: KEP-122/MK/IV/2/1974, Nomor: 32/M/SK/2/1974 dan Nomor: 30/KPB/I/1974 tentang Perizinan Usaha Leasing. Di samping ketentuan itu, lembaga leasing juga diatur di dalam:
1.      Keppres Nomor 61 Tahun 1988 tentang Lembaga Pembiayaan.
2.      Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor: 1251/KMK.013/1988 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Lembaga Pembiayaan.
3.      Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor: 634/KMK.013/1990 tentang Pengadaan Barang Modal Berfasilitas Melalui Perusahaan Sewa Guna Usaha (Perusahaan Leasing).
4.      Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor: 1169/KMK.01/1991 tentang Ketentuan Kegiatan Sewa Guna Usaha (Leasing).
Keputusan-keputusan itulah yang menjadi dasar hukum berlakunya leasing di Indonesia. Tentunya pada masa mendatang perlu dipikirkan pembentukan peraturan perundang-undangan yang khusus mengatur tentang leasing. Agar dengan adanya undang-undang tersebut diharapkan lebih menjamin kepastian hukum para pihak dalam melakukan kontrak berdasarkan prinsip leasing.  
C.    PROSEDUR DAN SYARAT-SYARAT PENDIRIAN PERUSAHAAN LEASING
Prosedur dan syarat-syarat pendirian perusahaan leasing diatur dalam Surat Keputusan Bersama Menteri Keuangan, Menteri Perindustrian, dan Menteri Perdagangan Nomor: KEP-122/MK/IV/2/1974, Nomor: 32/M/SK/2/1974, dan Nomor: 30/KPB/I/1974 tentang Perizinan Usaha Leasing dan Surat Keputusan Menteri Keuangan Nomor: KEP-649/MK/IV/5/1974 tentang Perizinan Usaha Leasing. Kegiatan leasing dapat dilakukan oleh:
1.      Lembaga keuangan;
2.      Badan usaha tersendiri, baik berbentuk perusahaan nasional maupun perusahaan campuran.
Prosedur yang ditempuh atau dilalui oleh perusahaan yang ingin mendapatkan izin kegiatan leasing adalah perusahaan harus mengajukan permohonan izin usaha kepada Menteri Keuangan dengan mempergunakan formulir yang telah tersedia pada Direktorat Jenderal Moneter, Direktorat Lembaga-Lembaga Keuangan, dalam rangkap 3 (tiga). Permohonan itu juga harus ditembuskan:
1.      Bagi lembaga keuangan, maka tembusan permohonan tersebut disampaikan kepada Direksi Bank Indonesia.
2.      Bukan lembaga keuangan, maka tembusan permohonan disampaikan pula kepada Departemen Perdagangan, Direktorat Lembaga-Lembaga Perdagangan dan/atau Departemen Perindustrian menurut bidangnya masing-masing.
Permohonan tersebut harus dilampirkan:
1.      Anggaran dasar atau rancangan anggaran dasar dalam hal perusahaan baru;
2.      Laporan keuangan perusahaan sedapat mungkin 3 tahun buku terakhir, kecuali bagi perusahaan baru;
3.      Menyampaikan feasibility study dan rencana pembiayaan usaha untuk sedikitnya 3 tahun mendatang.
Di dalam Pasal 4 dan Pasal 5 Surat Keputusan Menteri Keuangan Nomor: KEP-649/MK/IV/5/1974 tentang Perizinan Usaha Leasing telah ditentukan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh badan usaha untuk memperoleh izin usaha leasing. Di dalam Pasal 4 Surat Keputusan Menteri Keuangan Nomor: KEP-649/MK/IV/5/1974 dibedakan persyaratan untuk memperoleh izin untuk perusahaan nasional, perusahaan campuran, dan agen tunggal (sole agency).
Persyaratan bagi perusahaan nasional:
1.      Berbentuk perusahaan terbatas dan pendiriannya berdasarkan hukum Indonesia.
2.      Seluruh modal saham dimiliki oleh warga negara Indonesia.
3.      Dalam tahap pertama modal yang disetor sedikitnya sebesar Rp 50.000.000 (lima puluh juta rupiah)
Persyaratan bagi perusahaan campuran:
1.      Berbentuk perusahaan terbatas dan pendiriannya berdasarkan hukum Indonesia.
2.      Dalam tahap pertama modal yang disetor sedikitnya sebesar Rp 150.000.000 (seratus lima puluh juta rupiah)
3.      Dalam waktu 10 tahun, mayoritas pemilikan saham harus berada di tangan warga negara Indonesia.
Persyaratan bagi agen tunggal (sole agency):
1.      Perusahaan nasional dan pendiriannya berdasarkan hukum Indonesia.
2.      Untuk usahanya sebagai agen tunggal telah mempunyai izin dari Departemen Perdagangan dan/atau Departemen Perindustrian.
3.      Usaha leasing yang akan dijalankan hanya untuk barang-barang modal sehingga ia menjadi agen tunggalnya di Indonesia.
4.      Mempunyai persetujuan dengan pabrik yang akan diwakilinya untuk kegiatan leasing yang akan dilakukan.
5.      Memenuhi persyaratan-persyaratan lain yang ditetapkan.
Disamping persyaratan-persyaratan di atas, badan usaha atau lembaga keuangan yang ingin memperoleh izin usaha leasing harus memenuhi persyaratan, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 5 Keputusan Menteri Keuangan Nomor: KEP-649/MK/IV/5/1974. Persyaratan itu adalah sebagai berikut:
1.      Telah mempunyai rekomendasi/pertimbangan dari Bank Indonesia atau untuk badan-badan yang bukan lembaga keuangan diperlukan adanya rekomendasi/pertimbangan dari Departemen Perdagangan.
2.      Menyampaikan feasibility study dan rencana pembiayaan untuk sedikitnya 3 (tiga) tahun mendatang.
3.      Tidak akan mempekerjakan tenaga warga negara asing, kecuali atas persetujuan Menteri Keuangan.
4.      Dalam organisasi perusahaan akan dipekerjakan sedikitnya seorang tenaga ahli di bidang hukum, seorang akuntan, dan seorang tenaga ahli di bidang di mana usaha leasing itu akan dititikberatkan.
5.      Dalam hal diperlukan adanya asuransi, maka penutupannya harus dilakukan pada perusahaan-perusahaan asuransi yang ada di Indonesia.
6.      Barang-barang yang di lease harus diambil dari produksi dalam negeri, kecuali apabila produksi dalam negeri belum memungkinkan. Pengecualian ini hanya dapat dilakukan dengan persetujuan Menteri Keuangan.
7.      Mempunyai ruang kantor yang tetap dan beralamat jelas, sedangkan setiap pembukaan kantor cabang harus dengan persetujuan Menteri Keuangan.
8.      Harus mempunyai tata usaha/pembukuan tersendiri.
9.      Badan-badan usaha yang pada waktu ini telah menjalankan kegiatan leasing, diwajibkan menyesuaikan dengan persyaratan-persyaratan yang telah ditentukan dalam Surat Keputusan Menteri Keuangan Nomor: KEP-649/MK/IV/5/1974.
Apabila prosedur dan persyaratan tersebut telah dipenuhi oleh pemohon, maka Menteri Keuangan setelah mendengar pertimbangan dari Direksi Bank Indonesia dan/atau Departemen Perindustrian menetapkan izin usaha leasing.
Dalam Pasal 6 Surat Keputusan Menteri Keuangan Nomor: KEP-649/MK/IV/5/1974 mengatur berbagai larangan bagi perusahaan leasing. Larangan-larangan itu meliputi:
1.      Menerima simpanan dalam bentuk giro, deposito, tabungan maupun memberikan kredit/pinjaman uang serta mengeluarkan jaminan bagi pihak ketiga atau usaha-usaha perbankan lainnya.
2.      Perusahaan leasing yang tidak berkedudukan di Indonesia dilarang melakukan kegiatan leasing di Indonesia.

D.    SUBJEK DAN OBJEK KONTRAK LEASING
Pada prinsipnya ada dua pihak yang terkait dalam perjanjian leasing, yaitu pihak lessor dan pihak lesse, namun tidak menutup kemungkinan terkait pihak lainnya. Lessor adalah perusahaan pembiayaan atau perusahaan sewa guna usaha yang telah memperoleh izin usaha dari Menteri Keuangan dan melakukan kegiatan sewa guna usaha. Lessee adalah perusahaan atau perorangan yang menggunakan barang modal dengan pembiayaan dari lessor. Di samping kedua pihak tersebut, yang dapat menjadi pendukung dalam kegiatan kontrak leasing adalah pihak supplier dan kreditur atau lender. Supplier adalah penjual dan pemilik barang yang disewakan. Kreditur adalah orang atau lembaga yang mendukung kegiatan pembiayaan di bidang leasing, seperti lembaga perbankan dan lembaga nonbank lainnya.
Objek leasing adalah barang-barang modal/alat-alat produksi yang harganya sangat mahal. Objek itu adalah terdiri atas:
1.      Mobil,
2.      Pesawat terbang,
3.      Motor,
4.      Bus,
5.      Peralatan pengeboran,
6.      Peralatan listrik,
7.      Forklift dan truk,
8.      Pembangkit tenaga listrik,
9.      Peralatan telepon,
10.  Perkakas tenun/tekstil,
11.  Peralatan bengkel,
12.  Peralatan kantor,
13.  Komputer,
14.  Mesin-mesin percetakan,
15.  Mesin-mesin untuk pertambangan,
16.  Peralatan rumah sakit,
17.  Peralatan untuk industri baja, dan
18.  Peralatan untuk industri perkayuan.
Apabila barang yang menjadi objek leasing musnah/rusak bukan disebabkan oleh salah satu pihak, maka yang bertanggung jawab adalah pihak lessor.

E.     BENTUK DAN ISI KONTRAK LEASING
Di dalam Pasal 9 Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 1169/KMK.01/1991 tentang Kegiatan Guna Usaha (Leasing) ditentukan bahwa setiap transaksi sewa guna usaha wajib diikat dalam suatu perjanjian sewa guna usaha atau lease agreement. Ini berarti bahwa  perjanjian yang dibuat antara lessor dengan lessee dibuat dalam bentuk tertulis, baik itu dituangkan dalam bentuk akta di bawah tangan maupun akta autentik. Akta di bawah tangan adalah sebuah akta yang dibuat oleh para pihak, sedangkan akta autentik adalah akta yang dibuat oleh pejabat yang berwenang untuk itu. Pejabat yang berwenang untuk membuat akta leasing adalah Notaris.
Substansi yang tercantum dalam lease agreement, meliputi:
1.      Jenis transaksi sewa guna usaha.
2.      Nama dan alamat masing-masing pihak.
3.      Nama, jenis, type, dan lokasi penggunaan barang modal.
4.      Harga perolehan, nilai pembiayaan, pembayaran sewa guna usaha, angsuran pokok pembiayaan, imbalan jasa sewa guna usaha, nilai sisa, simpanan jaminan, dan ketentuan angsuran atas barang modal yang disewa guna usahakan.
5.      Masa sewa guna usaha.
6.      Ketentuan mengenai pengakhiran transaksi sewa guna usaha yang dipercepat, dan penetapan kerugian yang harus ditanggung lessee dalam hal barang modal yang disewa guna usaha dengan hak opsi hilang, rusak, atau tidak berfungsi karena sebab apa pun.
7.      Opsi bagi penyewa guna usaha dalam hal transaksi sewa guna usaha dengan hak opsi.
8.      Tanggung jawab para pihak atas barang modal yang disewa guna usaha.
Dalam praktiknya tidak hanya memuat hal-hal sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 9 Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 1169/KMK.01/1991 tentang Kegiatan Guna Usaha (Leasing), tetapi juga memuat hal-hal seperti wanprestasi, asuransi, bunga tunggakan utang, dan lain-lain.

F.     HAK DAN KEWAJIBAN ANTARA LESSOR DAN LESSEE
Berdasarkan analisis terhadap substansi kontrak yang dibuat antara lessor, yaitu pihak yang menyewakan (lessor) dengan pihak penyewa (lessee), ditemukan beberapa hak dan kewajiban dari kedua belah pihak. Kewajiban lessor yaitu menyerahkan barang modal yang menjadi objek leasing.
Sedangkan hak lessor adalah:
1.      Menerima sewa dari lessee.
2.      Melakukan penyesuaian jumlah angsuran pokok pembiayaan.
3.      Mengakhiri atau membatalkan kontrak leasing secara sepihak.
4.      Menetapkan jaminan atau biaya leasing di muka.
5.      Dapat memindahkan barang leasing tanpa adanya izin lessee.
6.      Berhak atas ganti rugi asuransi.
7.      Berhak menahan semua barang leasing, jaminan tambahan, dan bukti surat berharga lainnya.

Adapun hak lessee adalah:
1.      Menerima barang leasing.
2.      Mempunyai hak opsi, yaitu hak untuk membeli atau memperpanjang objek leasing.
3.      Memakai barang leasing sesuai dengan kontrak yang dibuat antara lessor dan lessee.
Kewajiban lessee adalah:
1.      Membayar sewa barang leasing.
2.      Membayar pajak.
3.      Melunasi seluruh biaya sewa, apabila lessee membeli barang leasing.
4.      Menanggung biaya dan ongkos yang dikeluarkan oleh lessor karena dirugikan, dilanggar, atau diancam oleh lessee.
5.      Tidak diperkenankan untuk melakukan perubahan dan penukaran fungsi barang leasing.
6.      Patuh dan taat melaksanakan petunjuk pabrik barang leasing tentang tata cara pemakaian dan pemeliharaan barang leasing.
7.      Memelihara dan memperbaiki barang leasing serta mengganti semua biaya bagian yang hilang atau rusak dengan suku cadang yang baru.
8.      Menanggung biaya asuransi.
9.      Menanggung biaya pengadilan dan biaya pengacara.
10.  Biaya penagihan.
11.  Biaya materai.

G.    POLA PENYELESAIAN SENGKETA
Penyelesaian sengketa dalam kontrak leasing dapat ditempuh dengan dua cara, yaitu melalui pengadilan dan diluar pengadilan. Namun, di dalam substansi kontrak-kontrak yang distandardisasi oleh lessor, maka tempat penyelesaian sengketa yang timbul antara lessor dan lessee adalah di Pengadilan Negeri Pusat.
 









BAB III
PENUTUP

A.    KESIMPULAN
Dari apa yang telah di uraikan di atas mengenai kontrak leasing, maka penyusun memiliki beberapa kesimpulan, yaitu:
1.      Dalam hal leasing ini jika dilaksanakan dengan baik, sesuai dengan mekanisme yang berlaku maka sistem leasing memberikan peluang menarik bagi pengusaha, karena memiliki keunggulan, antara lain yaitu:
a.       Proses pengadaan peralatan modal relatif lebih cepat dan tidak memerlukan jaminan kebendaan.
b.      Untuk pengadaan kebutuhan modal dan alat-alat berat yang mahal dapat terpenuhi mengingat cara pembayaran dilakukan dengan sistem angsuran dengan jangka waktu yang cukup panjang, tentu hal ini menguntungkan bagi pengusaha yang baru menjalankan usahanya.
c.       Adanya hak opsi yang diberikan kepada lessee untuk membeli objek leasing pada akhir masa kontrak atau memperpanjang objek leasing. Jadi dengan adanya dua pilihan yang sama-sama menguntungkan ini, pengusaha dapat menentukan pilihannya sesuai dengan kemampuan serta kebutuhannya.
2.      Setiap transaksi sewa guna usaha (leasing) wajib diikat dalam suatu perjanjian sewa guna usaha atau lease agreement secara tertulis.
3.      Tampaklah bahwa kewajiban yang utama dibebankan pada lessee. Ini disebabkan pihak lessee berada pada posisi yang lemah, karena mereka tidak mempunyai banyak modal untuk membeli barang-barang modal tersebut. Maka dengan sangat mudah pihak lessor membuatkan syarat-syarat standar dalam kontrak leasing. Kepada pihak lessee diminta untuk menyetujuinya atau tidak. Apabila disetujui, maka pihak lessee menandatangani kontrak tersebut.
4.      Jika timbul sengketa kontrak leasing dikemudian hari, maka tempat penyelesaian adalah di Pengadilan Negeri Pusat. Apabila objek leasingnya ada di Jakarta, maka hal tersebut tidak menjadi masalah. Akan tetapi, apabila sengketa itu terjadi di daerah, seperti Provinsi/Kabupaten/Kota, maka akan menimbulkan persoalan. Hal ini karena memerlukan biaya yang besar dan waktu lama untuk berperkara. Maksud penentuan tempat penyelesaian sengketa  di Pengadilan Negeri Pusat adalah untuk mempersulit pihak lessee menuntut lessor, apabila lessor melakukan tindakan secara sepihak.

B.     SARAN 
Tentunya pada masa mendatang perlu dipikirkan pembentukan peraturan perundang-undangan yang khusus mengatur tentang leasing. Jadi, dengan adanya undang-undang tersebut akan menjamin kepastian hukum para pihak dalam melakukan kontrak berdasarkan prinsip leasing

















DAFTAR PUSTAKA

Salim, H.S.,S.H.,M.S. 2003. Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat Di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.
Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor 1251/KMK.013/1988 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Lembaga Pembiayaan.
Keppres Nomor 61 Tahun 1988 tentang Lembaga Pembiayaan.
Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor 634/KMK.013/1990 tentang Pengadaan Barang Modal Berfasilitas Melalui Perusahaan Sewa Guna Usaha (Perusahaan Leasing).
Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor 1169/KMK.01/1991 tentang Ketentuan Kegiatan Sewa Guna Usaha (Leasing).







    




DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ................................................................................................... i
DAFTAR ISI ............................................................................................................... ii
BAB   I       PENDAHULUAN .................................................................................. 1
A.      Istilah dan Pengertian Kontrak Leasing............................................ 1      
B.       Tujuan Institusi Leasing .................................................................... 2
C.       Rumusan Masalah ............................................................................. 3
BAB   II      PEMBAHASAN ..................................................................................... 4
                  A.    Jenis-Jenis Leasing ........................................................................... 4
                    B.    Dasar Hukum Kontrak Leasing........................................................ 9
                    C.    Prosedur dan Syarat-Syarat Pendirian Perusahaan Leasing............ 10
D.      Subjek dan Objek Kontrak Leasing................................................ 12
E.       Bentuk dan Isi Kontrak Leasing.................................................
F.        Hak dan Kewajiban Antara Lessor dan Lessee..........................
G.      Pola Penyelesaian Sengketa.......................................................

BAB   III    PENUTUP.............................................................................................. 14
A.             Kesimpulan .................................................................................. 14
B.            
ii
 
Saran ............................................................................................ 14

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 15