Selasa, 18 Desember 2012

Resume Hukum Acara Pidana

BAB I
PEMERIKSAAN DI SIDANG PENGADILANt

Pendahuluan
Pemeriksaan perkara pidana dapat dibagi menjadi dua tahap, yaitu tahap pemeriksaan pendahuluan dan tahap pemeriksaan di sidang pengadilan. Dalam sistem hukum acara pidana yang lama (HIR), pemeriksaan pendahuluan menganut sistem inquisitoir, yaitu tersangka dipandang sebagai obyek pemeriksaan, sifat pemeriksaan tertutup dan kedudukan atau hak antara pemeriksa dan yang diperiksa tidak sama.
Namun, dengan berlakunya KUHAP dalam pemeriksaan pendahuluan dianut sistem inquisitoir yang lunak, yaitu pada tahap pemeriksaan pendahuluan di muka penyidik, tersangka boleh didampingi oleh penasihat hukum, walaupun kedudukan penasihat hukum bersifat pasif. Tersangka dalam sistem inquisitoir yang diperlunak ini tidak lagi dipandang sebagai obyek semata-mata, sebagai suatu barang yang harus diperiksa wujudnya berhubung dengan suatu persangkaan pelanggaran undang-undang pidana terhadapnya.
Pemeriksaan di persidangan menganut sistem accusatoir. Dalam sistem accusatoir terdakwa dan penasihat hukumnya mempunyai kedudukan yang sederajat dengan penuntut umum. Ia dipandang sebagai subyek dan oleh hakim diberi hak yang sama, kesempatan yang sama, dan kesempatan berbicara terakhir diberikan kepada terdakwa.

Kedudukan Terdakwa, Advocad, Penuntut Umum dan Hakim
Dalam hukum acara pidana ada empat pihak dalam sidang pengadilan berdasarkan kedudukan masing-masing. Menurut PM. Trapman sikap dan pandangan dari masing-masing pihak adalah sebagai berikut:
Terdakwa, berpandangan subyektif dari posisi subyektif. Terdakwa bebas mengambil sikap di sidang pengadilan, artinya ia hanya bersikap untuk membela kepentingannya sendiri, sehingga ia boleh berdusta dan menyangkal setiap dakwaan yang didakwakan kepadanya.
Penasihat hukum, berpandangan obyektif dari posisi subyektif. Penasihat hukum dalam sidang harus menyandarkan pada kepentingan terdakwa., tetapi harus bertindak dalam ukuran obyektif. Misalnya penasihat hukum harus mengutarakan hal-hal yang dapat meringankan terdakwa atau membebaskan terdakwa, ia tidak boleh berdusta, ia harus berusaha mencari kebenaran dan tidak boleh bertindak merugikan terdakwa.
Penuntut umum, berpandangan subyektif dari posisi obyektif. Penuntut umum sebagai wakil negara harus menyandarkan sikapnya kepada kepentingan masyarakat dan negara. Meskipun demikian ia harus bersandarkan pada ukuran yang obyektif, artinya jika tidak terdapat cukup bukti akan kesalahan terdakwa maka penuntut umum harus meminta agar terdakwa dibebaskan walaupun pertama-tama ia harus berpegang pada kepentingan masyarakat dan negara.
Hakim, berpandangan obyektif dari posisi yang obyektif. Maksudnya adalah, segala-galanya harus dipertimbangkan oleh hakim, baik dari sudut kepentingan terdakwa maupun kepentingan masyarakat/negara. Misalnya Hakim harus memperhatikan hal-hal yang meliputi keadaan terdakwa (meskipun terdakwa bersalah) seperti:
Apakah terdakwa melakukan pencuriannya itu disebabkan karena kemiskinan;
Apakah terdakwa dalam melakukan tindak pidananya itu baru pertama kali (first offender), sebab pidananya harus lebih ringan daripada yang telah berulang kali melakukan (recidive).
Jadi, hakim betul-betul harus memperhatikan kepentingan dari dua pihak, yaitu pihak terdakwa dan masyarakat/negara.
Penetapan Sidang dan Pemanggilan
Apabila Pengadilan Negeri menerima surat pelimpahan perkara dari penuntut umum dan berpendapat bahwa perkara tersebut termasuk wewenangnya, Ketua Pengadilan Negeri kemudian menunjuk hakim yang menyidangkan perkara tersebut dan hakim yang ditunjuk itu menetapkan hari sidang (Pasal 152 ayat 1 KUHAP). Dalam menetapkan hari sidang tersebut hakim memerintahkan kepada penuntut umum supaya memanggil terdakwa dan saksi untuk datang di sidang pengadilan (Pasal 152 ayat 2 KUHAP). Menurut Pasal 145 KUHAP syarat sahnya suatu panggilan terdakwa sebagai berikut:
Surat panggilan kepada terdakwa disampaikan di alamat tempat tinggalnya atau apabila tempat tinggalnya tidak diketahui, disampaikan di tempat kediaman terakhir;
Apabila terdakwa tidak ada di tempat tinggalnya atau di tempat kediaman terakhir, surat panggilan disampaikan melalui kepala desa yang berdaerah hukum tempat tinggal terdakwa atau tempat kediaman terakhir;
Dalam hal terdakwa dalam tahanan, surat panggilan disampaikan kepadanya melalui pejabat rumah tahanan negara;
Penerimaan surat panggilan oleh terdakwa sendiri ataupun oleh orang lain atau melalui orang lain, dilakukan dengan tanda terima;
Apabila tempat tinggal atau tempat kediaman terakhir tidak diketahui, surat panggilan tersebut ditempelkan pada tempat pengumuman di gedung pengadilan yang berwenang mengadili perkaranya.
Menurut Pasal 146 KUHAP surat panggilan terdakwa dan saksi memuat, hari, jam sidang dan untuk perkara apa ia dipanggil, dan sudah diterima oleh yang bersangkutan selambat-lambatnya tiga hari sebelum sidang dimulai.
Pemeriksaan di Sidang Pengadilan
Pada hari yang telah ditetapkan  pengadilan bersidang (Pasal 153 ayat 1 KUHAP). Dimulai hakim ketua sidang membuka sidang dan menyatakan terbuka untuk umum kecuali dalam perkara kesusilaan atau terdakwanya anak-anak (Pasal 153 ayat 3 KUHAP).
Pemeriksaan dilakukan secara lisan dalam bahasa Indonesia yang harus dimengerti oleh terdakwa dan saksi (Pasal 153 ayat 2 KUHAP). Apabila ketentuan tersebut tidak dipenuhi, mengakibatkan putusan tersebut batal demi hukum (Pasal 153 ayat 4 KUHAP). Kemudian hakim ketua sidang memerintahkan kepada penuntut umum agar terdakwa  dipanggil masuk ke ruangan sidang dan jika ia dalam tahanan, ia dihadapkan dalam keadaan bebas (Pasal 154 ayat 1 KUHAP). Artinya tidak dalam keadaan dibelenggu tanpa mengurangi pengawalan.
Jika terdakwa yang tidak ditahan tidak hadir, hakim ketua sidang meneliti apakah terdakwa sudah dipanggil secara sah. Apabila terdakwa dipanggil secara tidak sah, hakim ketua sidang menunda persidangan dan memerintahkan supaya terdakwa dipanggil lagi untuk hadir pada hari sidang berikutnya (Pasal 154 ayat 2 dan 3 KUHAP).
Jika terdakwa telah dipanggil secara sah tetapi tidak datang tanpa alasan yang sah, pemeriksaan perkara tersebut tidak dapat diteruskan dan hakim ketua sidang memerintahkan agar terdakwa dipanggil sekali lagi. Apabila dalam perkara tersebut terdakwa lebih dari satu orang dan tidak semua hadir, maka pemeriksaan dapat dilakukan terhadap terdakwa yang hadir (Pasal 154 ayat 4 dan 5 KUHAP).
Hakim ketua sidang memerintahkan agar terdakwa yang tidak hadir tanpa alasan yang sah setelah dipanggil secara sah untuk kedua kalinya dihadirkan dengan paksa pada sidang pertama berikutnya. Kemudian panitera mencatat laporan dari penuntut umum tentang pelaksanaan sebagaimana dimaksud dalam ayat 3 dan ayat 6 dan menyampaikannya kepada hakim ketua sidang (Pasal 154 ayat 6 dan 7 KUHAP).
Jika terdakwa tetap tidak dapat dihadirkan di persidangan, maka hakim memutus perkara tersebut dengan menyatakan tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima.
Setelah terdakwa menghadap dan duduk di kursi yang telah disediakan, kemudian hakim ketua sidang menanyakan kepada terdakwa tentang nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama, dan pekerjaannya serta mengingatkan terdakwa supaya memperhatikan segala sesuatu yang didengar dan dilihatnya di sidang (Pasal 155 ayat 1 KUHAP).
Setelah itu hakim ketua sidang minta kepada penuntut umum untuk membacakan surat dakwaannya. Hakim menanyakan kepada terdakwa apakah sudah mengerti, dan bila terdakwa tidak mengerti, penuntut umum atas permintaan hakim ketua sidang wajib memberi penjelasan yang diperlukan (Pasal 155 ayat 2 KUHAP).
Selanjutnya hakim ketua sidang menanyakan kepada terdakwa atau penasihat hukum, apakah ada hal-hal yang akan dikemukakan atas surat dakwaan penuntut umum tersebut.  Apabila tidak ada, penasihat hukum minta agar pemeriksaan dilanjutkan. Apabila ada keberatan, terdakwa atau penasihat hukum dapat mengajukan keberatan (eksepsi) menurut Pasal 156 ayat (1) KUHAP sebagai berikut:
Bahwa pengadilan tidak berwenang mengadili perkaranya;
Bahwa dakwaan tidak dapat diterima;
Bahwa surat dakwaan harus dibatalkan.
Setelah diberi kesempatan kepada penuntut umum untuk menanggapinya hakim mempertimbangkan eksepsi tersebut untuk selanjutnya mengambil keputusan. Pasal 156 ayat (2) KUHAP menyatakan bahwa jika hakim menyatakan eksepsi tersebut diterima, maka perkara itu tidak diperiksa lebih lanjut. Sebaliknya apabila eksepsi tersebut tidak dapat diterima atau hakim berpendapat bahwa eksepsi tersebut baru dapat diputus setelah selesai pemeriksaan perkara itu, maka sidang dilanjutkan.
Eksepsi dapat diajukan bersama dengan permintaan banding oleh terdakwa atau penasihat hukum kepada Pengadilan Tinggi, maka dalam waktu empat belas hari sejak Pengadilan Tinggi menerima perkara dan membenarkan eksepsi itu, Pengadilan Tinggi membatalkan putusan PN yang bersangkutan dan menunjuk PN yang berwenang (Pasal 156 ayat 5 sub a). Pengadilan Tinggi kemudian menyampaikan salinan putusan tersebut kepada PN berwenang dan PN yang semula mengadili perkara tersebut disertai berkas perkara untuk diteruskan kepada Kejaksaan Negeri yang telah melimpahkan perkara tersebut (Pasal 156 ayat 5 sub b). Jika PN menerima eksepsi terdakwa atau penasihat hukumnya, maka penuntut umum berhak mengajukan tuntutan perlawanan atas putusan PN tersebut. Perlawanan ini diajukan kepada PT melalui PN yang bersangkutan.
Menurut Pasal 160 KUHAP yang pertama didengar keterangannya adalah korban yang menjadi saksi. Saksi dipanggil ke dalam ruang sidang seorang demi seorang menurut urutan yang sebaik-baiknya dipandang oleh hakim ketua sidang setelah mendengar dari penuntut umum, terdakwa atau penasihat hukum.
Hakim ketua sidang menanyakan kepada saksi keterangan tentang identitasnya secara lengkap. Selanjutnya apakah saksi kenal terdakwa sebelum terdakwa melakukan perbuatan yang menjadi dasar dakwaan serta apakah saksi berkeluarga sedarah atau semenda dan sampai derajat keberapa dengan terdakwa, atau apakah ia suami atau istri terdakwa meskipun sudah bercerai, atau saksi terikat hubungan kerja dengan terdakwa.
Sebelum memberikan kesaksian, saksi wajib mengucapkan sumpah menurut agamanya masing-masing. Jika keterangan saksi di sidang berbeda dengan yang terdapat dalam berita acara, hakim ketua sidang mengingatkan saksi tentang hal itu serta minta keterangan mengenai perbedaan yang ada dan dicatat dalam berita acara pemeriksaan sidang (Pasal 163 KUHAP). Setiap kali seorang saksi memberikan keterangan, hakim ketua sidang menanyakan kepada terdakwa bagaimana pendapatnya tentang keterangan saksi tersebut (Pasal 164 ayat 1 KUHAP). Dengan perantaraan hakim ketua sidang, penuntut umum maupun penasihat hukum diberi kesempatan untuk mengajukan pertanyaan kepada saksi dan terdakwa (Pasal 164 ayat 2  KUHAP). Apabila ada pertanyaan diajukan oleh hakim, penuntut umum, atau penasihat hukum, menurut Pasal 164 ayat 3 KUHAP hakim ketua sidang dapat menolak pertanyaan tersebut dengan memberikan alasannya. Hakim dan penuntut umum atau terdakwa atau penasihat hukum dengan perantara hakim ketua sidang dapat saling menghadapkan saksi untuk menguji kebenaran keterangan masing-masing (cross-exatmination) diatur di Pasal 165 ayat 4 KUHAP.
Sesuai Pasal 167 KUHAP, setelah saksi memberikan keterangan, ia tetap berada di ruang sidang kecuali hakim ketua sidang memberi ijin untuk meninggalkannya. Ijin itupun tidak dapat diberikan jika ada permintaan dari penuntut umum, penasihat hukum, atau terdakwa agar saksi tetap tinggal di ruang sidang. Selama pemeriksaan sidang para saksi dilarang saling berbicara (Pasal 167 ayat 2 dan 3 KUHAP). Setelah saksi memberikan keterangan maka terdakwa atau penasihat hukum atau penuntut umum dapat mengajukan permintaan kepada hakim ketua sidang, agar diantara saksi tersebut yang tidak mereka kehendaki kehadirannya, dikeluarkan dari ruang sidang, agar saksi lainnya dipanggil masuk ke ruang sidang, baik sesorang demi seorang maupun bersama-sama.
Hakim dapat minta supaya saksi yang telah di dengar keterangannya ke luar sidang untuk selanjutnya mendengar keterangan saksi yang lain (Pasal 172 KUHAP). Hakim ketua sidang dapat mendengar keterangan saksi tanpa hadirnya terdakwa, hakim dapat menyuruh terdakwa ke luar sementara dari persidangan selama hakim mengajukan pertanyaan kepada saksi (Pasal 173 KUHAP).
Apabila keterangan saksi disangka palsu, hakim ketua sidang memperingatkan saksi supaya memberikan keterangan yang sebenarnya dan mengemukakan ancaman pidana yang dapat dikenakan kepadanya jika ia tetap memberikan keterangan palsu. Jika saksi tetap memberikan keterangan palsu hakim ketua sidang atau atas permintaan penuntut umum atau terdakwa dapat memberi perintah supaya saksi ditahan, untuk selanjutnya dituntut perkara dengan dakwaan sumpah palsu.
Menurut sistem KUHAP, maka setelah saksi didengar keterangannya baru terdakwa diperiksa. Menurut Pasal 175 KUHAP, jika terdakwa tidak mau menjawab atau menolak untuk menjawab pertanyaan yang diajukan kepadanya, hakim ketua sidang menganjurkan  untuk menjawab dan kemudian pemeriksaan dilanjutkan. Hakim ketua sidang tidak dapat memaksa terdakwa untuk menjawab pertanyaan, karena bagi terdakwa yang tidak mau menjawab pertanyaan tidak ada sanksinya.
Di dalam Pasal 176 ayat 1 KUHAP, dinyatakan bahwa jika terdakwa bertingkah laku yang tidak patut sehingga mengganggu ketertiban sidang, hakim ketua sidang menegurnya dan jika teguran itu tidak diindahkan ia memerintahkan supaya terdakwa dikeluarkan dari ruang sidang, pemeriksaan perkara dilanjutkan tanpa hadirnya terdakwa. Apabila terdakwa atau saksi tidak paham bahasa Indonesia, misalnya terdakwa atau saksi orang asing, maka hakim menunjuk juru bahasa yang bersumpah akan menerjemahkan dengan benar.
Setiap orang yang diminta pendapatnya sebagai dokter ahli atau ahli lainnya wajib memberikan keterangan ahli. Saksi ahli bersumpah untuk memberikan keterangan yang sebenarnya menurut pengetahuan dalam bidang keahliannya. Apabila dalam perkara tersebut ada buktinya, maka hakim ketua sidang memperlihatkan bukti tersebut kepada terdakwa dan menanyakan apakah terdakwa mengenal benda itu.
Setelah pemeriksaan dinyatakan selesai, hakim ketua sidang mempersilahkan penuntut umum untuk mengajukan tuntutan pidananya (requisitoir). Setelah itu hakim ketua sidang memberikan kesempatan kepada terdakwa dan atau penasihat hukum untuk mengajukan pembelaan (pleidooi). Atas pleidooi ini penuntut umum dapat menanggapinya (repliek), dengan ketentuan bahwa terdakwa atau penasihat hukum selalu mendapat giliran terakhir (dupliek). Baik requisitoir, pleidoii, repliek, dan dupliek dilakukan secara tertulis dan setelah dibacakan segera diserahkan kepada hakim ketua sidang dan salinannya kepada pihak yang berkepentingan (Pasal 182 ayat 1 sub a, b, dan c KUHAP).
Setelah dianggap selesai, hakim ketua sidang menyatakan bahwa pemeriksaan dinyatakan ditutup, dengan ketentuan dapat membukanya sekali lagi, baik atas kewenangan hakim ketua sidang, maupun atas permintaan penuntut umum atau terdakwa atau penasihat hukum dengan memberikan alasannya. Kemudian hakim mengadakan musyawarah terakhir untuk mengambil keputusan (vonnis) dan apabila perlu musyawarah itu diadakan setelah terdakwa, saksi, penuntut umum, dan hadirin meninggalkan ruangan sidang. Musyawarah tersebut harus didasarkan atas surat dakwaan dan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan di sidang (Pasal 182 ayat 2, 3, dan 4 KUHAP).
Semua itu kemudian dicatat dalam buku himpunan putusan yang disediakan khusus untuk untuk keperluan itu dan isi buku tersebut sifatnya rahasia. Adapun putusan pengadilan negeri dapat dijatuhkan dan diumumkan pada hari itu juga atau pada hari lain yang sebelumnya harus diberitahukan kepada penuntut umum, terdakwa, penasihat hukum (Pasal 182 ayat 7 dan 8 KUHAP).

BAB II
HUKUM PEMBUKTIAN
Pendahuluan
Di dalam hukum acara pidana secara garis besarnya dibagi menjadi 5 tahapan, yaitu:
Tahap penyidikan (Opsporing)
Tahap penuntutan (Vervolging)
Tahap mengadili (Rechtspraak)
Tahap melaksanakan putusan hakim (Executie)
Tahap pengawasan dan pengamatan putusan pengadilan (Wasmat)
Tahapan-tahapan diatas, sesuai dengan tingkatannya dilaksanakan oleh subyek pelaksana, yaitu:
Tahap penyidikan dilakukan oleh penyidik.
Tahap penuntutan dilaksanakan oleh penuntut umum.
Tahap mengadili dilaksanakan oleh hakim, yaitu:
Dalam pemeriksaan tingkat pertama dilaksanakan oleh hakim Pengadilan Negeri.
Apabila ada upaya hukum banding terhadap putusan hakim PN, dilaksanakan oleh Hakim Tinggi.
Apabila ada upaya hukum kasasi terhadap putusan Pengadilan Tinggi, atau ada upaya hukum kasasi terhadap Putusan PN yang membebaskan atau melepaskan terdakwa dilaksanakan oleh Hakim Agung.
Apabila ada upaya hukum peninjauan kembali terhadap putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, dilaksanakan oleh Hakim Agung.
Tahap melaksanakan putusan hakim oleh jaksa.
Tahap pengawasan dan pengamatan putusan pengadilan oleh hakim PN (Hakim Wasmat)
Tahap mengadili perkara pidana, dimulai ketika jaksa melimpahkan perkara ke pengadilan. Jaksa membuat surat dakwaan (bagi acara pemeriksaan biasa) atau catatan dakwaan (bagi acara pemeriksaan singkat).
Surat dakwaan yang dibuat oleh penuntut umum wajib dibuktikan kebenarannya. Masalah pembuktian adalah masalah yang rumit karena merupakan titik sentral dari hukum acara pidana, tujuannya adalah untuk mencari dan mendapatkan kebenaran materiil dan bukan mencari kesalahan seseorang.
Dengan demikian, pengertian membuktikan sesuatu adalah menunjukan hal-hal yang dapat ditangkap oleh panca indera, mengemukakan tersebut hal-hal tersebut dan berfikir secara logis. Pembuktian dilakukan demi kepentingan hakim untuk memutuskan perkara, yang harus dibuktikan adalah kejadian konkrit bukan abstrak.
Teori Pembuktian
Indonesia menganut sistem kontinental yang sama dengan Belanda serta negara Eropa kontinental yang lain, yaitu Hakim yang menilai alat bukti yang diajukan kepadanya dengan keyakinannya sendiri dan bukan dewan jury seperti halnya di Amerika Serikat dan negara-negara Anglo-Saxon. Di negara Anglo-Saxon dewan jury yang menentukan salah atau tidaknya terdakwa (guilty or not guilty) dalam sidang yang dipimpin oleh hakim (judge). Jadi bukan hakim yang menentukan salah atau tidaknya terdakwa, tetapi dewan jury yang terdiri dari orang awam (layman).
Teori pembuktian berdasarkan keyakinan hakim
Menurut teori ini, hakim cukup mendasarkan terbuktinya suatu keadaan atas keyakinannya/perasaannya. Hakim tidak diwajibkan mengemukakan alasan hukum yang dipakai sebagai dasar putusannya. Apabila hakim dalam putusannya menyebut alat bukti yang dipakai, Hakim secara bebas dapat menunjuk alat bukti apa saja, termasuk alat bukti yang sulit diterima akal sehat, misalnya dari dukun. Jadi dengan sistem ini pemidanaan dimungkinkan tanpa didasarkan kepada alat bukti sebagaimana ditentukan undang-undang.
Teori pembuktian menurut undang-undang positif
Dalam teori ini undang-undang telah menentukan alat bukti yang dipakai oleh hakim, dan asal alat bukti itu telah dipakai seperti yang ditentukan undang-undang, maka hakim berwenang menetapkan terbukti atau tidaknya suatu perkara yang diperiksanya, meskipun hakim sendiri belum yakin atas putusannya. Sebaliknya apabila tidak terpenuhi persyaratan yang ditentukan undang-undang, hakim dapat mengambil putusan yang sejajar, dalam arti bahwa putusan itu harus berbunyi tentang sesuatu yang tidak dapat dibuktikan adanya, meskipun sebenarnya hakim berkeyakinan atas hal tersebut. Sistem ini mendasarkan pada ketentuan undang-undang dan meninggalkan nilai kepercayaan hakim sebagai sumber keyakinan sehingga menimbulkan putusan yang menggoyahkan kehidupan hukum karena kurangnya dukungan masyarakat sebagai akibat putusan yang tidak mencerminkan kehendak masyarakat.
Teori pembuktian menurut undang-undang negatif
Menurut teori ini, hakim boleh menjatuhkan pidana apabila sedikitnya terdapat alat bukti yang ditentukan undang-undang dan keyakinan hakim. KUHAP memakai sistem pembuktian menurut undang-undang yang negatif (negatief wettelijk).
Teori pembuktian berdasar keyakinan hakim atas alasan logis
Teori ini menentukan bahwa hakim di dalam menyebutkan alasan untuk mengambil keputusan, sama sekali tidak terikat pada alat bukti dalam undang-undang, melainkan ia secara bebas dapat memakai alat bukti lain, asalkan didasarkan pada alasan yang tetap menurut logika. Sistem ini disebut teori “conviction raissonnee”. Jadi menurut teori ini alat bukti dan cara pembuktiannya tidak ditentukan dalam undang-undang. Dalam menentukan macam dan banyaknya bukti yang dipandang cukup untuk menetapkan kesalahan terdakwa, hakim bebas dan tidak terikat undang-undang. Sehingga sistem atau teori ini disebut teori pembuktian bebas (vrije bewijstheorie).
Teori pembuktian bebas bertolak pada keyakinan hakim, tetapi keyakinan itu didasarkan pada suatu kesimpulan logis dan tidak didasarkan pada undang-undang dan hakim bebas mengadakan pemilihan alat bukti yang digunakan.

Hal-hal Yang Berkaitan Dengan Pembuktian
Di dalam pembuktian (law of evidence), hal-hal pokok yang berkaitan dengan pembuktian yaitu:
Alat-alat pembuktian (bewijsmiddelen)
Penguraian pembuktian (bewijsvoering)
Kekuatan pembuktian (bewijskracht)
Dasar pembuktian (bewijsgrond)
Beban pembuktian (bewijslast)

Alat-alat pembuktian
Alat bukti adalah alat yang dipakai untuk membantu hakim dalam menggambarkan kembali peristiwa pidana yang pernah terjadi. Untuk menggambarkannya kembali terjadinya peristiwa tersebut yang diambil dari bekas-bekas yang ditinggalkan, keterangan saksi yang melihat, mendengar atau mengalami sendiri peristiwa tersebut.
Penguraian pembuktian
Penguraian pembuktian adalah cara mempergunakan alat bukti, yaitu sejauhmana keterlibatan alat bukti dalam suatu perbuatan yang dilakukan terdakwa dan hakim wajib meneliti, apakah dapat terbukti terdakwa telah melakukan hal-hal yang didakwakan kepadanya.
Kekuatan pembuktian
Kekuatan pembuktian adalah pembuktian dari masing-masing alat bukti. Misalnya, sejauhmana kekuatan alat bukti terhadap perbuatan yang dilakukan terdakwa.
Dasar pembuktian
Adalah isi dari alat-alat bukti. Misalnya, keterangan seorang saksi bahwa ia telah melihat sesuatu, disebut alat bukti, tetapi keadaan apa yang dilihatnya, yang didengar atau dialaminya dengan disertai alasan-alasan mengapa ia melihat, mendengar, atau mengalami yang diterangkannya dalam kesaksiannya tersebut.
Beban pembuktian
Beban pembuktian menyangkut persoalan siapakah yang wajib membuktikan. Penuntut umum wajib membuktikan dakwaannya sesuai surat dakwaan.
Alat-alat Bukti (bewijsmiddelen)
Pembuktian di dalam KUHAP diatur pada Bab XVI dari Pasal 183 s/d Pasal 189. Alat bukti yang sah menurut Pasal 184 ayat (1) KUHAP adalah: keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa.
Ad. a. Keterangan Saksi;
Keterangan saksi sebagai alat bukti yang sah harus memenuhi dua syarat, yaitu syarat formil dan syarat materiil. Syarat formil adalah keterangan saksi dianggap sah apabila diberikan di bawah sumpah (Pasal 160 ayat 3 KUHAP). Syarat materiil adalah kesaksian dari seorang saksi harus mengenai hal yang ia dengar, ia lihat dan ia alami sendiri, dengan menyebutkan alasan pengetahuan tersebut (Pasal 1 butir 27 KUHAP). Menurut Pasal 185 ayat (1) KUHAP keterangan saksi harus dinyatakan di sidang pengadilan. Penjelasan Pasal 161 ayat (2) KUHAP, bahwa keterangan saksi atau ahli yang tidak disumpah tidak dapat dianggap sebagai alat bukti yang sah, tetapi hanya keterangan yang dapat menguatkan keyakinan hakim. Sedangkan dalam Pasal 185 ayat (7) KUHAP, bahwa keterangan saksi yang tidak disumpah meskipun sesuai satu dengan yang lain, tidak merupakan alat bukti, namun jika keterangan itu sesuai dengan keterangan saksi yang disumpah dapat dipergunakan sebagai tambahan bukti yang sah. Pasal 185 ayat 2 KUHAP menyatakan bahwa keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya.

Ad. b. Keterangan   Ahli;
Menurut Pasal 1 butir 28 keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan. Menurut Pasal 186 KUHAP, keterangan ahli harus dinyatakan oleh ahli di sidang pengadilan. Namun keterangan ahli dapat diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum yang dituangkan dalam bentuk laporan dan dibuat dengan sumpah di waktu ia menerima jabatan atau pekerjaan. Jika hal itu tidak diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum, maka pada pemeriksaan di sidang, diminta untuk memberi keterangan dan dicatat dalam berita acara pemeriksaan. Keterangan tersebut diberikan setelah ia mengucapkan sumpah atau janji di hadapan hakim.

Ad. c. Alat Bukti Surat;
Asser-Anema memberikan definisi surat ialah segala sesuatu yang mengandung tanda-tanda baca yang dapat dimengerti, dimaksud, untuk mengeluarkan isi pikiran. Surat sebagai barang bukti adalah surat yang digunakan atau hasil dari kejahatan. Contoh surat berisi ancaman yang dipakai dalam tindak pidana pemerasan atau surat palsu yang dipakai dalam tindak pidana penipuan. Surat sebagai alat bukti diatur dalam Pasal 187 KUHAP.
Menurut Pasal 187 KUHAP ada dua macam surat, yaitu surat resmi serta surat dibawah tangan. Menurut Pasal 187 KUHAP huruf d, surat dibawah tangan masih mempunyai daya bukti jika ada hubungannya dengan isi dari pembuktian yang lain.

Ad. d. Alat Bukti Petunjuk
Menurut Pasal 188 ayat (1) KUHAP, petunjuk adalah perbuatan kejadian atau keadaan yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi tindak pidana dan siapa pelakunya. Sama dengan bukti berantai bahwa petunjuk itu bukanlah alat pembuktian yang langsung, tetapi pada dasarnya adalah hal-hal yang disimpulkan dari alat-alat pembuktian lain, yang hanya diperoleh dari: keterangan saksi, surat, dan keterangan terdakwa.

Ad. e. Keterangan Terdakwa
Menurut Pasal 189 ayat (1) KUHAP,  keterangan terdakwa adalah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri. Sedangkan keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang pengadilan dapat digunakan untuk membantu menemukan bukti di sidang, asalkan keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya (Pasal 189 ayat 2 KUHAP). Selanjutnya Pasal 189 ayat (3) KUHAP menyatakan bahwa keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri.
Yang dimaksud dengan saksi mahkota adalah terdakwa yang berstatus menjadi saksi dalam perkara terdakwa yang lain, yang sama-sama melakukan yaitu dalam hal diadakan splitsing dalam pemeriksaannya.

BAB V
GANTI KERUGIAN DAN REHABILITASI

Pendahuluan
Dalam Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman (UU No. 48/2004) dinyatakan, setiap orang yang ditangkap, ditahan, dituntut, atau diadili tanpa alasan berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkannya, berhak menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi. Ganti kerugian adalah hak seorang untuk mendapat pemenuhan atas tuntutannya berupa imbalan sejumlah uang karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan (Pasal 1 butir 22 KUHAP).
Rehabilitasi adalah hak seorang untuk mendapatkan pemulihan haknya dalam kemampuan, kedudukan, dan harkat serta martabatnya yang diberikan pada tingkat penyidikan, penuntutan atau peradilan karena ditangkap, ditahan, ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan UU atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan (Pasal 1 butir 23 KUHAP).
Ganti Kerugian
Ganti kerugian erat hubungannya dengan masalah penahanan, dasar hukumnya Pasal 9 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Mengenai ganti kerugian dan rehabilitasi ini dalam KUHAP diatur dalam tiga pasal, yaitu Pasal 95 dan Pasal 96 mengenai ganti kerugian dan Pasal 97 mengenai rehabilitasi.
Ketentuan ganti kerugian merupakan jaminan bagi perlindungan hak asasi tersangka, terdakwa dan terpidana yang dikenakan penangkapan atau penahanan tidak berdasarkan hukum.
Ganti kerugian dan rehabilitasi diatur dalam Bab XII KUHAP dan kerugian kepada pihak ketiga atau korban (victim of crime) sebagaimana diatur dalam Bab XII KUHAP. Pasal 95 ayat (2) KUHAP dihubungkan dengan Pasal 77 KUHAP, tuntutan ganti kerugian tidak hanya dapat diajukan terhadap perkara yang telah diajukan di muka pengadilan saja, tetapi juga apabila perkara tersebut tidak diajukan ke pengadilan, dalam arti perkara itu dihentikan baik di tingkat penyidikan atau di tingkat pennuntutan. Jika perkara tidak diajukan ke pengadilan, baik karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana sedangkan tersangka telah dikenakan penangkapan, penahanan, atau tindakan-tindakan lain secara melawan hukum, maka tuntutan ganti kerugian atau rehabilitasi tersebut diperiksa dan diputus oleh praperadilan. Tuntutan ganti kerugian yang perkaranya diajukan ke pengadilan dan berakhir dengan putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, permintaan ganti kerugian diperiksa dan diputus oleh hakim yang sama yang mengadili perkara pidana yang bersangkutan.
Dalam penjelasan Pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP dinyatakan, dalam menetapkan dikabulkan atau tidaknya tuntutan ganti kerugian, hakim mendasarkan pertimbangannya kepada kebenaran dan keadilan, sehingga dengan demikian tidak semua tuntutan ganti kerugian akan dikabulkan oleh hakim.
Dalam hal tuntutan ganti kerugian oleh Terpidana setelah peninjauan kembali (herzeining) ketentuan-ketentuannya sama dengan tuntutan ganti kerugian yang diajukan oleh terdakwa, yang perkaranya berakhir dengan putusan bebas atau lepas dari tuntutan hukum. Jadi, tetap berdasarkan pada ketentuan-ketentuan tentang ganti kerugian atau rehabilitasi sebagaimana diatur dalam Pasal 95, 96, dan 97 KUHAP beserta peraturan pelaksanaannya. Menurut Pasal 7 PP No. 27 tahun 1983, tuntutan ganti kerugian tersebut hanya dapat diajukan dalam tenggang waktu 3 (tiga) bulan sejak putusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum tetap. Sedangkan dalam hal tuntutan ganti kerugian tersebut diajukan terhadap perkara yang dihentikan pada tingkat penyidikan atau tingkat penuntutan, maka jangka waktu 3 (tiga) bulan dihitung dari saat pemberitahuan penetapan praperadilan.
Adapun besarnya jumlah ganti kerugian tersebut yaitu, serendah-rendahnya Rp. 5000,- (lima ribu rupiah) dan setinggi-tingginya Rp. 1000.000,- (satu juta rupiah). Sedangkan apabila penangkapan, penahanan dan tindakan lain mengakibatkan yang bersangkutan sakit atau cacat sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan atau mati, besarnya ganti kerugian berjumlah setinggi-tingginya Rp. 3000.000,- (tiga juta rupiah). Tata cara pembayaran ganti kerugian tersebut diatur dalam keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 983/KMK.01/1983 tanggal 31 Desember 1983.
Rehabilitasi
Rehabilitasi diatur dalam Pasal 97 KUHAP. Pasal 97 ayat (1) menyatakan bahwa seorang berhak memperoleh rehabilitasi apabila oleh pengadilan diputus bebas atau diputus lepas dari segala tuntutan hukumnyang putusannya telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Pada proses rehabilitasi pun dibedakan antara perkara yang diajukan ke pengadilan dan yang tidak. Apabila perkara diajukan ke pengadilan dan diputus dengan putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, maka pengadilan yang mengadili perkara pidananya itu memberikan rehabilitasi, yaitu dengan cara mencantumkan sekaligus dalam putusan yang mengenai perkaranya. Sedangkan apabila perkaranya dihentikan baik di tingkat penyidikan atau di tingkat penuntutan, sedangkan tersangka sebelumnya  dikenakan penangkapan atau penahanan tanpa alasan yang berdasarkan UU atau karena kekeliruan mengenai orang atau hukum yang diterapakan, maka rehabilitasi diberikan oleh praperadilan.
Menurut Pasal 12 PP nomor 27 tahun 1983 dinyatakan bahwa permintaan rehabilitasi tersebut diajukan oleh tersangka, keluarga, atau kuasanya kepada pengadilan yang berwenang selambat-lambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari setelah putusan mengenai sah atau tidaknya penangkapan atau penahanan diberitahukan kepada pemohon.
Ganti Kerugian kepada Pihak Korban (victim of crime)
Perlindungan terhadap hak dari korban tindak pidana ini diberikan dengan cara mempercepat untuk mendapatkan ganti kerugian yang dideritanya, dengan cara menggabungkan gugatan ganti ruginya pada perkara pidananya, yang pada hakikatnya merupakan perkara perdata dan yang biasanya diadili melalui hakim perdata. Dengan dibukanya penggabungan gugatan ganti kerugian ini pada perkara pidananya, maka jelas akan dihemat waktu dan biaya perkara.
Dalam KUHAP ditempuh cara yaitu  gugatan ganti kerugian dari korban yang sifatnya perdata yang digabungkan pada perkara pidananya dan ganti kerugian tersebut dipertanggungjawabkan kepada pelaku tindak pidana (terdakwa). Ganti kerugian tersebut dapat dimintakan terhadap semua macam perkara yang dapat menimbulkan kerugian materiil bagi korban. Sedangkan kerugian yang bersifat immaterial tidak dapat dimintakan ganti kerugian melalui prosedur ini. Permintaan tersebut hanya dapat diajukan selambat-lambatnya sebelum penuntut umum mengajukan tuntutan pidana (requisitoir). Sedangkan dalam hal suatu perkara yang tidak dihadiri penuntut umum (perkara cepat), permintaan tersebut diajukan selambat-lambatnya sebelum hakim menjatuhkan putusan (Pasal 98 ayat 2 KUHAP). Kemudian hakim ketua sidang dengan surat penetapan yang dicatat dalam berita acara persidangan menggabungkan pemeriksaan perkara ganti kerugian tersebut dengan perkara pidananya.